Apa jadinya kalau seekor singa yang cakarnya gatal dikurung lama? Ketika sangkar dibuka, menggilalah ia. Begitu kira-kira kiasan bagi "cakaran" Erwin Arnada setelah ia dikungkung jeruji selama 8,5 bulan. Dengan serangan gandanya di novel dan film, Erwin memperkuat kesan bahwa beberapa masterpiece memang harus lahir dari ruang penjara. Setelah bebas di pertengahan 2011, Erwin merilis novel yang ditulisnya selama di penjara. Akhir Agustus 2012, film yang diadaptasi dari novel karyanya sendiri, bisa disaksikan di berbagai jaringan bioskop. Film dan novel itu berjudul, Rumah di Seribu Ombak.
foto dipinjam tanpa izin dari sini
Rumah di Seribu Ombak (RdSO) berkisah tentang persahabatan dua orang anak Bali yang berbeda sifat dan latar belakang agama, Samihi dan Wayan Manik atau Yanik. Keduanya rukun sampai suatu hari Samihi harus membocorkan rahasia sang sahabat. Yanik yang beragama hindu berjanji memaafkan Samihi jika sahabat muslimnya itu mau melakukan sesuatu yang justru akan merubah hidup Samihi. Muatan yang kental terkandung di film ini diantaranya nilai persahabatan, kerukunan antar umat beragama, tolong menolong, sabar, dan lain-lain. Dari segi alur, film ini bagi saya tidak terasa orisinil. Ada aroma novel (yang kemudian dijadikan film) Kite Runner-nya Khaled Hosseini. Saya lalu bertanya ke sang kreator tentang keserupaan itu. Berikut saya rangkum pembicaraan kami di Twitter. Bagian akhir diskusi saya samarkan agar kamu yang belum nonton ga tau akhirnya gimana. Hehe.
Terlepas dari alur yang mirip dengan kisah asal Afganistan itu, sisi visual Rumah di Seribu Ombak mampu bikin saya senyam-senyum sendiri pas nonton, mungkin kamu juga bakal begitu. Bali ditampilkan dalam lensa sepia. Jadi kamu tidak akan melihat padi muda berwarna hijau. Suasana kekuningan mendominasi visualisasi film ini. Yang paling berkesan bagi saya, intercut atau selingan tiap babak yang menghadirkan lanskap Bali yang eksotis. Breathtaking.
foto dipinjam tanpa izin dari sini
Rumah di Seribu Ombak unik selain karena ini adalah film pertama sutradaranya, para aktor dan aktris di film ini juga baru menjajaki pengalaman dunia sinematika di film ini, kecuali Lukman Sardi yang sepertinya dipasang sebagai jaminan mutu. Ada penggebuk drum Superman Is Dead, Jerinx. Ada anak 9 tahun yang baru akting di film ini. Ada juga mantan gadis sampul yang membuat mata kita tak lelah menonton film berdurasi 110 menit ini. Hehe. Meski demikian, akting mereka ga punya celah cela.
Hal yang saya sayangkan, diantaranya adalah kegamangan sang sutradara yang menurut saya tampak pada ketidaktegaan menampilkan adegan kontak fisik. Di awal film ketika Samihi dan Yanik berkenalan, saya kira Yanik akan memukul pengganggu Mihi, nyatanya cuma ditarik. Di partisi akhir film, Yanik begitu mudahnya mengusir begundal yang mengganggu Mimi hanya dengan mengusir, tanpa ada perlawanan. Erwin ternyata ingin melabeli karyanya dengan kategori film keluarga, bisa ditonton semua kalangan usia. Meski demikian, Kak Seto, pemerhati anak yang saya wawancarai usai pemutaran perdana, menyayangkan ending film ini. Kenapa demikian? tonton segera Rumah di Seribu Ombak. [rhezaardiansyah]