Dengan niat utama menyaksikan penampilan duo Senyawa, Minggu malam di penghujung September saya bertolak ke Salihara. Sempat ragu bisa tiba sebelum pertunjukan dimulai, saya akhirnya duduk di baris kedua, sebelum Sitok Srengenge menyampaikan prolog. Ia membacakan jalinan mata acara bienal Sirkus Sastra malam itu. Katanya bakal ada pembacaan cerpen karya Nukila Amal oleh Ayu Utami, potongan novel Seno Joko Suyono, dan pembacaan lima puisi karya Afrizal Malna oleh penggubahnya sendiri.
Nukila Amal urung hadir, Ayu Utami menggantikan. Dalam balutan busana serba hitam, Ayu Utami beratraksi melalui kata-kata racikan penulis asal Ternate itu. Saya gak nyimak detil sajian sirkus Ayu, demikian pula ketika penulis lain ambil giliran. Mungkin karena niat utama saya ada di duo Rully Sabhara-Wukir Suryadi. Usai Ayu, redaktur rubrik seni majalah Tempo Seno Joko Suyono menghentak panggung. Iya menghentak, dia memulai pembacaan potongan novelnya dengan suara lantang. Dengan logat kejawaan, beberapa penonton tertawa. Saya? Ga tau harus berekspresi seperti apa.
Lalu Afrizal Malna ambil giliran. Gak tanggung-tanggung, lima puisi ia jejerkan dalam satu penampilan pembacaan. "Saya sebenarnya benci membacakan puisi sendiri," kata penyair pelontos ini. Gaya pembacaan konstan, dengan visualisasi yang ternyata tidak cocok dengan puisi yang dilantunkan, terasa membosankan. Malam itu saya ketemu Michelle dan Anom, kawan sewaktu kuliah. Michelle bilang dia ga ngerti sama penampilan Afrizal Malna, katanya waktu Afrizal tampil, dia merasa pengen buru-buru beres. Saya diam. Dalam hati mengiyakan. Afrizal Malna namanya besar, tapi selera sastra saya mungkin masih terlalu kecil untuk menikmati puisi-puisinya.
Barulah setelah tiga sastrawan tadi, kemudian Senyawa menghajar Teater Salihara. Mereka sebenarnya hadir juga di awal acara. Mereka menampilkan karya baru, beruntung saya sempat merekamnya. Prosa gubahan Nukila Amal dikonversi ke wujud musik. Di bagian versi-musik-karya-Nukila-Amal itu, Rully seperti biasa tampil dengan eksplorasi teknik vokal yang ajaib. Saya ragu ada orang yang menyerupai dia. Rully pasti satu-satunya di dunia dengan skill vokal khas sedemikian memukau. Wukir disini memainkan gitar-yang-pernah-ia-mainkan-bersama-akar-mahoni-di-pameran-OK-video-Galeri-Nasional. Saya lupa namanya. Saluang juga ia mainkan, tapi sepertinya itu bukan saluang biasa. Wukir kan suka punya alat musik buatannya sendiri, yang dia namai sendiri, dengan timbre (warna suara) yang juga punya istilah sendiri.
Di penampilan paruh kedua, saya singkirkan kamera dari genggaman. Disini saya ingin benar-benar fokus menikmati Senyawa. Ada dua nomor cukup panjang yang ditampilkan. Entah apa namanya yang pertama, tapi yang pasti Wukir menggunakan Bambuwukir, senjata khasnya. Pertanyaan tentang bunyi dentuman semacam bunyi instrumen pukul pun terjawab sudah. Bunyi itu berasal dari sejumlah senar tebal yang terbuat dari bambu. Ya, ternyata suara berdebum itu suara bambu. Ah, Wukir. Ditanya soal nada tiap senar, Wukir cuma jawab nada dasarnya di G, beroktaf 4 dengan repetisi nada G-A-C-D di 16 senar (selain bambu, ada juga senar berbahan logam, seperti senar gitar atau biola).
Masih dengan bambuwukir di tangan, Wukir-Rully memprologi lagu kedua. Katanya itu lagu dibuat tahun 2010 sewaktu Merapi bererupsi. Ah, ini saya pernah tonton di video buatan Vincent Moon. Ada banyak ekspresi yang ingin saya deskripsikan, namun cuma satu kata yang bisa mewakilinya, keren. Di penghujung pertunjukan (setelah semua penonton meninggalkan arena panggung teater), seorang pria bertanya bagaimana proses kreatif yang dilalui Senyawa. Wukir cuma jawab bahwa dia bertanggung jawab dalam produksi suara dari alat musiknya. Rully pun demikian, fokus ke lirik, dan pelafalan. Sudah banyakkah orang Indonesia yang mengenal karya musisi asal Jogja ini? Saya sangsi dengan jawaban ya, padahal Senyawa sudah beberapa kali mempresentasikan karyanya di luar negeri. Setelah tampil di Salihara, Senyawa fokus ke penyelesaian album kedua. Serupa dengan album perdananya, bundel karya mereka selanjutnya masih direncanakan rilis melalui netlabel Yes No Wave. Kita tunggu.