Minggu, 6 September 2009. Setelah rehat sekian lama, Finding Nadia kembali bersuara. Sebuah studio di sekitar hotel Salak, kami jadikan tempat latihan untuk persiapan recording dua lagu lama yang baru akan dirilis. Suasana latihan berjalan panas dan membakar. Semua kepala di dalam ruangan itu fasih melantunkan rentetan melodi, hingga cucuran keringat mengejek hembusan lemah angin dari AC. Suasana semakin meriah karena dukungan tata cahaya studio yang khas. Gemerlap lampu disko, distorsi gitar volume tinggi, serta raungan vokal scream yang menggema, cukup ampuh untuk melupakan sejenak rasa kehilangan yang beberapa waktu sebelumnya kurasakan.
Malam itu aku mengenakan kaos yang dipadankan dengan celana pendek sepanjang betis. Seperti biasa, aku dan Van berangkat bersama dari kampus menuju lahan pelampiasan ekspresi. Van menungguku di Berlin, aku berangkat dari Balio. Tak ada yang tak setuju, saat musik mendarah daging, kehadirannya akan selalu dibutuhkan dalam beberapa waktu. Tak sedikit pengendara sepeda motor/mobil yang tak ingin melewatkan perjalanannya tanpa sentuhan musik. Begitu pun denganku, meskipun hanya menunggangi sepasang sandal, perjalanan 15 menit itu tak mau kulewatkan tanpa musik. MP4 playerku menderu keras menemani derap langkah di hangatnya malam Bogor. Akhirnya, aku tiba di Berlin. Tanpa basa-basi, Van menyodorkan helm merahnya ke arahku. Headset kulipat, tombol stop kutekan, kurapikan kotak musik mini itu dalam saku celanaku yang lebar. Tanpa pikir panjang, skuter matik merah itu membawa kami meninggalkan kampus pertanian tercinta.
Tak ada yang aneh saat aku dan Van melaju diatas dua roda menuju studio latihan. Hingga akhirnya kami tiba di tempat Rona, Deni dan Cet menunggu. Studio telah siap kami jamah, kami bergegas memasukinya. Tanganku lalu merogoh saku kiri celana, tempat handphone kusarangkan, tak ada yang aneh. Giliran saku kanan yang kuperiksa, harusnya disana tersimpan sebuah balok hitam kecil bersama headset yang kumasukan sesaat sebelum menaiki motor Van. Kagetku tiada bandingan, sang kotak musik raib. Kuperiksa lagi saku lain, namun nihil. Terpaksa kesimpulan negatif kutarik, MP4 player, sahabatku yang paling setia, tak akan lagi bersamaku, nampaknya ia terjatuh di perjalanan. Setelah mengetahui berita duka itu, rekan-rekan se-Finding Nadia menghiburku. Semoga aku mengambil hikmah dari ujian ini, semoga kepergian sahabatku, menjadi kifarat pengganti dosa yang menggunung kutabung, semoga aku mendapat pengganti yang lebih baik, semoga siapapun yang menemukan kotak musikku, bisa mengambil manfaat darinya. Amin.
Tiga tahun sebelum kejadian itu, akhir Juni 2007, aku melepas putih-abu. Hari terakhir sebagai highschooler, merupakan tamparan keras bagiku. Di acara perpisahan SMA, aku beraksi diatas panggung, bersama dua orang temanku, melantunkan “Punk Hari Ini” dan “All The Small Things”. Aku benar-benar gila hari itu. Kucoretkan tanda silang di punggung lengan kananku. Straight edge, demikian kebanggaanku dibalik tanda itu. Selama jalannya acara, aku memotret setiap mata acara dan band-band yang tampil. Sesaat sebelum naik, aku lupa meminta seseorang untuk memotretkan dengan kamera sakuku. Mungkin Allah tak ingin membiarkanku mengenang saat itu, dan melupakan aku yang dulu. Waktunya tiba, dua lagu kudendangkan dengan liar, aku bermain gitar sambil sesekali melompat-lompat, hingga ankleku jadi korban. Usai acara, aku langsung beranjak pulang dan menemui tukang pijit. Beruntung cederaku belum terlalu parah, kaki kananku pun berangsur normal. Saat melihat foto-fotoku di acara itu, aku benar-benar malu. Inginku menghilangkan bagian itu saja dari memoriku. Apalagi setelah mengetahui orang tuaku hadir di balik bangku penonton. “Sepertinya aku tak perlu terlalu dekat lagi dengan musik,” pikirku saat itu.
Juli 2007, aku menginjakkan kaki di asrama TPB IPB. Situasi yang lain dari biasanya, benar-benar berbeda, dan saat yang tepat untuk membuat perbedaan. Sewaktu SMA, aku biasa mengonsumsi musik melalui tape dan MP3 player. Setibanya di IPB, aku menolak kedua benda pusaka itu. Saat itu aku berniat meninggalkan musik, dunia yang membentuk diriku hingga seperti ini. Saatnya menjadi sosok yang lebih serius dan dewasa, demikian pikirku saat itu. Dua hari berlalu tanpa lantunan nada, bukannya menguatkanku, tapi mejerumuskanku dalam kesendirian. Tak tahan dengan situasi itu, aku pulang. Aku pun kembali ke Bogor dengan memboyong sebuah MP4 player yang kemudian terkenal dengan layar pecahnya. Si layar pecah wafat tahun 2009. Rona kemudian dengan murah hati meminjamkan MP4 playernya untuk sementara kupakai. MP4 adikku, kupakai sebagai ganti MP4 lamaku yang tak bisa lagi kembali. Beriring masif terima kasih, kotak musik Rona kukembalikan. MP4 malang yang raib di sesi latihan diatas, adalah MP4 adikku. Saat kulaporkan insiden itu, adikku hanya berkomentar satu kata, “Lebar (sayang, too bad)”. Sekali lagi, derma Rona menjadi penyelamat. Ia meminjami lagi MP4-nya. Semoga Rona mendapat balasan berlipat ganda atas kebaikannya. Semoga segera kumiliki music player milikku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar