Sejak sekitar 6 bulan lalu, hari libur saya adalah Rabu dan Kamis. Berbeda dengan kebanyakan waktu libur umumnya, saya punya cara sendiri istirahat di tengah pekan, dari dateng ke acara kampus, sampe pulang kampung. Rabu ini sebenarnya saya merencanakan ke Bogor, nonton penayangan perdana film 5 cm, lalu berkemah di situ gunung. Agenda terakhir tadi semacam balas dendam karena batal ikut di perkemahan minggu sebelumnya sama Pak De dan Bang Wedus. Akhirnya minggu inilah saatnya. Saya bahkan tadinya mau nekat pergi sendirian, karena Rabu ini Pak De dan anak-anak UKF pergi ke gunung lain, sementara temen sekantor saya yang hobi menggung, Bang Wildan, ga bisa ikut. Sebagai rencana cadangan, sore Rabu ini saya akan mengunjungi adik di Bandung, dan liburan disana.
Ternyata
Hari Selasa saya ditugaskan liputan malam. Jam 5 Rabu pagi, ketika mengolah berita yang didapat tadi malam, sebuah kebakaran terjadi di daerah cilincing Jakarta Utara. Saya lalu ditugaskan liputan lagi. Jam 8 pagi saya melaporkan langsung dari blok 1 Pasar Bulog yang terbakar. Jam 9 saya baru meninggakan TKP setelah meliput kondisi terkini. Karena macet dan lokasi kejadian yang jauh, setengah 12 saya baru nyampe kantor. Ada berita tentang busway yang diliput semalam dan belum diolah. Setengah tiga saya baru bisa meninggakan kantor, rencana soal Bogor ga mungkin berjalan. Setelah makan, solat dan mandi, jam 4 sore saya berangkat dari kosan, menuju Bandung.
Migrain
Setelah solat dan tidur lagi, jam 7 pagi saya baru benar-benar bangun, di kosan adik saya Rizki di kawasan Cisitu Baru. Sebangunnya itu, kedutan di mata kiri saya makin kuat. Rupanya migrain yang muncul seminggu ini makin jadi. Migrain ini awanya muncul pasca liputan gebrakan jokowi. Jumat lalu saya harus meliput sejak jam 5 pagi, sementara malamnya saya dan teman-teman sekantor main sampe jam 1 malam. Pegal di kaki hilang setelah 2 hari, tapi sakit di sekitaran mata kiri bertahan, bahkan rabu ini main kuat. Berharap migrain ini menjinak, saya duduk cukup lama di depan TV, mandi lalu sarapan, dan mulai beredar di Bandung sejak jam 9 pagi.
Renang
Tujuan pertama saya adalah kolam renang Sasana Olahraga Ganesha (Saraga) ITB. Ini kolam renang yang dikelola universitas. Biar bisa renng di kolam berstandar olimpiade ini, mahasiswa ITB cukup bayar tiket yang harganya 3000. Kalau kamu ga punya KTM (coret) atau ga pijem KTM anak ITB (coret), harga tiketnya 4 kali lipat. Kolamnya enak, lokasinya diatas gitu, jadi bisa liat lapangan bola di satu sisi kolam, di sisi lain ada hutan kecil. Ditambah langit Bandung yang teduh berawan, saya nyesel kenapa ga kesini dari tadi. Padahal disini migrain saya langsung hilang *karena setelah sarapan udah minum obat. Disini saya juga ketemu Kak Trio, anak FIM 7. Dia juga pas lagi renang disana. Beberapa menit sebelum jam sebelas, saya angkat badan dari kolam.
Sanggar Olah Seni
Perjalanan menuju kolam Saraga, ternyata ga bisa ditempuh melalui jalan mnuju sabuga. Saya harus masuk melalui pintu samping yang lokasinya lebih dekat ke Simpang Dago. Di pinggiran jalan menurun menuju kolam itu, ada galeri yang memajang beberapa lukisan. Rupanya nama tempat itu Sanggar Olah Seni Babakan Siliwangi. Menurut seorang perupa yang saya ajak ngobrol, ini ruang yang terbuka buat siapa aja yang mau berkarya. Akang yang saya ajak ngobrol lagi bikin karya instalasi berupa helm. "Nanti ini bakal nyala" katanya menjelaskan bentuk akhir karyanya nanti. Di sisi seberang sanggar ini, di bawah untaian akar gantung, ada sebuah arca ganesha dan sepasang perahu kayu. Ketika sedang asyik memotret, seorang bapak ngajak ngobrol soal siapa saya dan darimana. Saya lalu minta izin buat motret lukisan lain di area berbeda. Bapak ini mengingatkn bahwa beberapa luiisan dilarang difoto. Katanya biar ga ada yang duplikasi lukisan itu. "Soalnya ide lukisannya itu yang susah," katanya menjelaskan.
Galeri
Tujuan saya berikutnya adalah mengunjungi Galeri Soemardja. Saya menempuh jalan kesana melalui kanal bawah tanah yang membelah jalan taman sari, dan tembus langsung ke kampus ITB. Ini kali kedua saya melintasi jalan itu. Tahun 2007 saya berjalan disana dalam rangka pendaftaran SPMB (sekarang SNMPTN), tapi saya ga jadi ikut SPMB. Haha.
Rizki langsung tertawa begitu melihat titel pameran yang dihelat di area Fakultas Seni Rupa dan Desain ini. Judulnya memang unik, faketaminophen, plesetan dari acetaminophen. Acetaminophen, menurut Rizki yang Mahasiswa Farmasi, nama lainnya parasetamol. Dia punya 3 fungsi, anti inflamasi, antipiretik dan anagetik, atau antiinfeksi, antidemam, dan penahan rasa sakit. Acetaminophen ini katanya meksi berguna, kalau dosisnya lebih dari 500 mg,bisa mematikan. Ngomong-ngomong, obat migrain yang tadi pagi saya minum ternyata parasetamolnya 400 mg.
Begitu tiba di dalam arena pameran, kami disuguhi beberapa lukisan, foto dan karya instalasi bertema farmasi yang dibuat seniman dari Kamboja, Laos, dan Indonesia.
Di lukisan ini, sang kreator berangkat dari premis dasar bahwa jika digunakan dengan baik, ilmu farmasi berguna, tapi jika disalahgunkan, hasilnya jadi bertolak belakang. Rizki lalu menjelaskan bahwa lambang farmasi berupa seekor ular yang melilit sebuah gelas, juga berarti demikian. "Bisa ular kan mematikan, tapi kalau digunakan dalam dosis tepat, bisa jadi obat" kata mahasiswa semester 7 ini.
Karya ini menunjukkan repetisi figur seseorang yang sedang menenggak kapsul, lalu dihimpun bersama figur lain yang serupa. Kalau dilihat dari jauh, himpunan tadi terlihat seperti siluet seseorang yang hendak memasukan kapsul ke mulutnya.
Lukisan diatas dibuat dengan mengikutsertakan pil betulan yang ditempel di kanvas. Salah satu potongan figur di lukisan ini menunjukkan eye of horus, lambang dewa horus, dewa kesembuhan yang jadi ikon dunia farmasi.
Ada beberapa lukisan dan instalasi karya seniman Indonesia dalam pameran itu, salah satunya foto ini. Hehe.
Usai dari sana, kami beranjak menuju lokasi lain. Di luar galeri, rizki masih antusias menceritakan dunia yang digelutinya. Dia cerita soal beberapa obat palsu yang sengaja disebar demi penelitian. Buat meneliti placebo effect katanya. Beberapa kapsul kosong emang sengaja disebar, lalu nanti dilihat respon pasiennya, apakah ada pengaruh sugesti atau engga. Kalau dokter dikasih tau soal obat itu, namanya single blind method, kalau dokter ga dikasih tau, double blind method.
Hantu
Obrolan rizki soal farmasi, berubah setelah saya memotret satu sisi kampus diatas. Dia cerita soal sebuah film horor yang dibuat liga film mahasiswa itb, dan terinspirasi dari kejadian nyata. Salah satu lokasi penampakannya, di daerah yang barusan saya foto. Rizki lalu cerita soal film berjudul Haunted Too. Katanya, di film ini ada 3 cerita berbeda. Cerita pertama soal seorang mahasiswa dihampiri hantu yang menyamar jadi temennya. Temennya yang asli SMS kalo ga jadi ketemu, sementara dia masih ada disitu sama temen gadungannya. Kebayang kan gimana seremnya, apalagi pas rizki ceritain endingnya. Cerita kedua soal seorang mahasiswa yang jalan sama temen cewenya, dan baru sadar kalo cewe yang dia bawa itu hantu setelah udah berpisah. Dia taunya dari obrolan si cewe asli pas dia udah pulang ke rumah. Mending lah kalo yang ini. Cerita ketiga soal seorang mahasiswa pengendara motor yang di sebuah lampu merah ditepok pundaknya. Pas dia nengok ga ada orang, pas liat di spion ada anak yang minta sumbangan.
Cerita rizki lalu berlanjut ke kisah seorang mahasiswa tingkat akhir yang ngerjain skripsi malam-malam di perpustakaan. Ketika seorang perempuan ternyata tanpa ia sadari sudah ada di meja seberang, pulpennya jatuh. Pas ia ngambil pulpen, ga sengajalah itu keliatan kalau si cewe itu tubuh bagian bawahnya ga ada. Pas dia ke posisi semula, kepala si cewe terbang gitu ke depan mukanya. Soal cerita terakhir ini, saya ceritakan juga ke Rizki soal mitos serupa yang ada di kampus saya dulu, IPB. Bahkan saya pernah memfilmkannya, ya meskipun ga sempurna. Hehe. Kalau mau tau cerita lengkapn sama filmnya, klik aja tulisan ini.
5cm
Ga kerasa setelah membelah anak sungai cikapundung, kami nyampe juga di jalan Cihampelas. Di Ciwalk, kami lalu nonton film 5cm. Secara keseluruhan, saya suka film ini, meski ada yang agak gimanaaa gitu. Film 5cm bercerita tentang persahabatan 5 orang, kisah cinta mereka dan gimana mereka mencapai mimpi masing-masing. Mereka merayakah kebersamaan dengan bersama-sama menginjak puncak tertinggi Pulau Jawa, Mahameru. Nah dari sisi visuaisasi, film ini layak dipuji. Ranu kumbolo keren dari gugusan bintangnya sama pemandangan sekitarnya, begitu juga suasana alam dari perjalanan kereta, sampe puncak mahameru. Pokoknya film ini sukses bikin kita bangga punya Indonesia yg indah. Bukan indonesia sih, dalam film ini mahameru dan sekitarnya. Hehe. Film 5 cm ini adaptasi novel berjudul sama. Saya udah baca novelnya, beberapa tahun lalu, ga lama setelah novel ini rilis dan jadi buah bibir. Saya ingat sekali gimana para tokoh novel ini mengarungi romantisme perjalanan yang dramatis. Misalnya mereka naik angkutan umum, ga cuma naik jeep yang diceritain di film. Di angkutan itu, mereka kenalan sama warga setempat yang sama kayak Ian, manchunian. Tapi tokoh yang juga aremania ini dikisahkan polos, polos ala desa. Yang bikin lucu misalnya, pas dia menuliskan united dengan yunaytit. Atau pas beberapa atribut angkutan kota itu menuliskan sesuatu yang diakhiri dengan .com, padahal dia sendiri ga ngerti apa maksudnya www dan dot com itu. Ada juga soal nisan di gunung yang begitu sekilas dibahas. Di versi novel, seingat saya, peran nisan itu begitu signifikan. Di film penjelasan soal nisan terlalu minim, seperti bahwa nisan itu buat mengenang seorang pendaki nasionalis yang hilang. Di titik itu bukan berarti jasad si pendaki dikubur, tapi titik terakhir dia bareng sama rombongannya. Di novel juga dibahas cerita mistis di hutan menuju mahameru, yang tentu saja melibatkan si pendaki hilang tadi. Nah justru disinilah eksotisme hutan Indonesia lain yang kurang banyak disinggung. Mungkin kendala durasi kali ya, atau sutradara ga mau keluar dari jalur pink percintaan ala orang kota yang berpikiran logis dan itu udah ditunjukan sejak awal, dengan kode-kode mencurigakan antara riani-genta. Rizal mantovani sebagai sutradara juga menurut saya tepat dengan tidak mengolah mentah ending 5 cm di novel. Di novelnya, anak-anak tokoh utama kita udah nasionalis banget, padahal mereka masih kecil. Utopis sekali. Rizal juga cukup bagus menutup film dengan penjelasan tentang apa maksud dari judul 5 cm, seperti novelnya yang juga menjelaskan arti 5 cm di penghujung cerita. Meski novelnya puitik, penggunaan dialog di film kurang pas di selera saya. Mungkin penonton lain suka, tapi saya ga nyaman dengan omongan puitis di percakapan normal. Kalau yang ngomong zafran sih ga masalah, dia kan emang ditokohkan seperti itu. Ini semua berubah jadi pujangga, pas mau naik gunung, pas bentar lagi nyampe puncak yang situasinya lagi kritis, pas pengibaran bendera juga, terlihat artifisial, ga natural. Tapi karena saya udah baca novelnya, jadinya ga terkejut pas endingnya menukik tajam. Saya beruntung udah baca novel dan nonton filmnya. Kesulitan saya membayangkan wujud nyata keindahan alam dan pembagian tokoh yang cukup rumit dibantu dengan filmnya, sementara ketidakpuasan atas pemenggalan kisah asli di film, ditolong dengan sudah menkhatamkan si novel.
Omuniuum
Sebuah toko kecil di seberang kampus Unpar jadi destinasi saya selanjutnya, omuniuum namanya. Disana ada 3 misi saya. Pertama beli buku Maddah, buku keduanya Risa Saraswati. Risa ini mantan vokalis band homogenic. Dia keluar dari homogenic lalu membentuk proyek solo bernama Sarasvati. Sarasati lalu menggigantik karena ia punya identitas unik. Lagu-lagu yang digubah Risa bernuansa mistis, buah dari pengalaman pribadinya yang memang tak jauh dari dunia supranatural. Album pertama sarasvati, judulnya Story of Peter. Peter yang dimaksud adalah hantu cilik teman sepermainannya. Setelah rajin menulis di blog pribadinya, Risa lalu membukukan pengalaman interdimensinya dalam titel Danur, artinya air yang keluar dari mayat. Usai danur yang berisi kisahnya bersama Peter dan hantu lain, Risa melepas Maddah bersama album keduanya, Mirror. Kedua paket karya teranyarnya ini lahir di konser tunggal Sarasvati bertajuk Nishkala. Saya pelanggan setia blog Risa, maka ketika Danur muncul, saya merasa perlu untuk menikmati karya Risa yang satu ini. Pun begitu dengan Maddah yang kini dirilis oleh Omupress, bukan penerbit Bukune seperti Danur. Makanya saya bela-belain ke omu langsung, karena memang hanya disini Maddah dijual. Buku Danur ini desain visualisasinya dikomandoi Herry Sutresna, atau yang kita kenal dengan Ucok Homicide.
Misi kedua saya di omuniuum adalah kenyerahkan DVD Flip Donation Act For Soreang yang digagas dou eletronik canggih kota kembang, Bottlesmoker. Mereka menggratiskan DVD konser tunggalnya, asalkan kita menyerahkan DVD kosong dan donasi untuk korban longsor di Soreang Bandung. Nantinya DVD yang kita kirim bakal dikirim balik ke alamat yang kita mau. Uang donasinya disumbangkan langsung oleh pihak Bottlesmoker dan kawan-kawan sponsornya. Terhormat sekali Bottlesmoker ini. Sudah mengharumkan Indonesia di kancah musik elektro dunia, semua rilisan karya mereka dibagi gratis lagi, bahkan mereka mengamalkan DVD konsernya.
Nah misi terakhir di Omuniuum adalah liat-liat barang bagus, lalu belanja. Hehe. Moto omuniuum ini small shop of reading and listening, makanya banyak buku bagus dan album keren dijual disini. Ada Cerita Cinta Enrique-nya Ayu Utami yang dijual 45 ribu, lebih murah dibanding gramedia yang membandrol 50 ribu. Ada juga novel Supernova seri Petir yang belum saya baca. Pengen sekalian beli sih, tapi harus ditahan, dibatasi dulu jajannya biar ga kebablasan. Di rak CD ada album Next Chapternya Ras Muhammad yang udah cukup lama saya cari. Apalagi ada albumnya Dubyouth yang baru kemarin-kemarin menangin Indonesia Cutting Edge Music Award (ICEMA) kategori best elecronic song. Rasanya sayang kalo ga sekalian beli, tapi ya itu tadi, harus ada skala prioritas. Akhirnya sebuah emblem koil yang harganya jauh lebih bersahabat saya beli. Haha. Semoga lain kali kita berjodoh duhai buku dan CD idaman. Oiya, saya juga sempat tanya soal stok CD Asphoria, ternyata habis. Jadi kalau mau beli CD Asphoria hubungi saya aja. Hehe.
CTR
Sebelum balik ke Jakarta lagi, saya dan Rizki berdzikir dulu di depan laptop, main CTR. Ini mainan favorit kami sejak SD. Kami main cup race lalu arcade. Di sesi cup rizki pake Polar, saya Puma. Di babak arcade barulah kami mainin jagoan sebenarnya. Saya mainain Tiny Tiger, rizki mainin Coco Bandicot. Setelah puas menang dari cpu yang dipasang di level hard *kalau kalah direstart.haha, kami makan sore, lalau saya ke pool mobil travel dan kembali ke Jakarta. Tulisan ini dibuat di atas mobil tadi, kayak tulisan ini.
Lalu Pulang
Kalau sub judul poting ini digabung dalam satu kalimat, maka akan membentuk satu kalimat singkat yang mewakili tamasya bandung saya kali ini, yaitu:
Seharusnya (ke Bogor), ternyata (sakit) migrain, (lalu pergi) renang (terus ke) sanggar olah seni, galeri, (ngobrol soal) hantu, (nonton) 5 cm, (ke) omuniuum, (main) CTR, lalu pulang.