Kisah dari pertemuan saya dengan B.J. Habibie belum semua dibeberkan. Saya masih menyimpan satu tuturan cukup panjang yang nantinya akan dirilis dalam Can I Say Magazine Edisi 14. Saat ini tulisannya sudah rampung, tinggal tunggu pengumpulan materi lain.
Sebagai pemanasan, berikut saya cuplikkan potongan obrolan saya dan Habibie tentang tokoh idola Sang Presiden Ketiga. Percakapan ini tidak akan dimuat di Can I Say. Yang bakal muncul di Can I Say tentu saja hanya yang berhubungan dengan seni, seniman dan karya seni. Habibie bicara soal seni? Ya, lihat saja Can I Say 14 nanti. Hehe. Sebagai kisi-kisi, berikut saya tampilkan foto yang menggambarkan seni yang dibahas Habibie. Oiya, kalau belum baca edisi sebelumnya, unduh melalui tautan ini.
R: Eyang sudah kenal Pak Harto sejak umur 13?
H: Sejak umur 13 ya benar. Ceritanya waktu itu tahun 50, kita tahun 49 (bulan) desember menandatangani suatu perjanjian dengan Belanda bahwa mereka akui Republik Indonesia Serikat. Diakui kecuali wilayah Irian Jaya. Irian Jaya nanti akan dibicarakan kelak. Tapi entah kita ga percaya karena pengalaman kita dengan Belanda ternyata sudah mendirikan negara Indonesia Timur, negara Pasundan, negara Kalimantan, di Sumatera, semua dibuat begitu. Dan bisa diperkirakan bahwa langkah selanjutnya diadu domba, sehingga terjadi negara tersendiri. Untuk mencegah itu, konsep RIS harus dikembalikan ke UUD. Untuk hal itu, pahlawan kita yang melawan belanda dan sekutunya itu bulan januari 50 bergerak ke luar jawa. Kita belum punya angkatan udara. Jadi mereka saya tidak tahu bagaimana caranya, pakai perahu atau bagaimana. Mereka pergi ke Indonesia bagian timur karena disitu bahaya terbesar karena ada militer, Andi Azis yang bergerak dari Sulawesi Selatan, ada Soumokil dari Maluku, yang mau memproklamirkan RMS. Untuk mencegah itu, mereka datang dari Jawa. Ada dari Siliwangi, dipimpin oleh Letnan Kolonel Kosasih. Tapi mereka temunya itu di rumah bapak saya. (Kodam) diponegoro belum ada, tapi (adanya) Brigade Mataram. Nah komandannya, Letkol Soeharto, umur 28 tahun. Jadi Letkol Soeharto, Letkol Kosasih, yang koordinir itu Kolonel Kawilarang. Itu mereka berkumpul di rumah ayah saya. Disitu saya melihat mereka bagi saya pahlawan. Pak Harto itu sudah saya kagumi dari kecil. Dia ganteng dan pendiam dan pinter orangnya. Saya tidak sangka kelak saya mendapat kesempatan untuk bekerja dan dibina oleh beliau untuk mengerti bagaimana memimpin bangsa ini. Akhirnya saya juga harus mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa indonesia, sesuai dengan UUD45.
R: Sayangnya Eyang bertemu dengan Pak Harto saat pengunduran diri itu ya?
H: Ya, karena dia sampaikan. Saya tanya dia juga melalui telepon saya tulis di buku Detik-Detik yang Menentukan. Pak saya mau ketemu dengan bapak. Tidak boleh karena itu tidak menguntungkan bagi kita semua. Sudah, saya laksanakan saja. Saya selesaikan masalah dengan baik. Dan dia bilang saya solat lima kali tapi tiap kali dia solat, setelah itu dia doa untuk saya. Kita secara batin berhubungan. Begitu disampaikan. Bagi saya, dia itu bukan saja kakak tertua, tapi yang terpenting manusia yang banyak jasanya sampai saya jadi ya saya ini. Disamping tentu yang membina saya ini adalah dua ibu. Ibu yang melahirkan dan mendampingi saya. Tapi Pak Harto dan Pak Panggabean, Pak Adam Malik, mereka banyak pengaruhnya sama Habibie. Juga Pak Sumitro, dia itu idola saya yang pertama. Eh, pertama Bung Karno, karena saya dapat nasionalisme dari Bung Karno. Idola kedua saya Soeharto, karena saya dapat pembinaan kesempatan untuk mengerti bagaimana memimpin bangsa Indonesia. Ketiga, idola saya Sumitro Djojohadikusumo. Kenapa dia? Karena di berani, dia konsisten. Dia konfrontasi dengan presiden. Dia keluar negeri tapi tetap setia pada cita-citanya dan tetap cinta sama Indonesia, bangsanya sendiri. Dan yang keempat, idola saya adalah Widjojo Nitisastro. Dia sepuluh tahun lebih tua dari saya tapi sangat pintar tapi rendah hati. Kebetulan keempatnya orang jawa. Hahaha. Bukan karena orang jawa tapi.
R: Dan sekarang eyang yang jadi idola setiap orang.
H: Saya ga tau, tapi kalaupun demikian saya bersyukur. Insya Allah anak dan cucu intelektual saya bisa lebih baik dari saya. Karena saya adalah produk dari empat idola. Hahaha. Jadi, saya rasa mereka juga dipengaruhi ayah, ibunya, dan ibu yang mendampinginya. []