Siang itu, bus yang kutumpangi melaju meninggalkan terminal Baranangsiang. Beberapa saat kemudian seorang lelaki dengan gitarnya berdiri diantara kursi di bagian tengah bus bersama seorang wanita yang kupikir ia istrinya. Ya, mereka hanya pengamen, hanya pengamen.
Sang pria memulai dengan ucapan salam untuk seisi bus, lalu berkata bahwa ia akan menyanyikan beberapa lagu Iwan Fals. Akupun bersiap mendengar senandung mereka sambil membaca buku yang kupinjam dari teman. Beberapa lagu berlalu, paduan melodi alto wanita itu beriringan indah dengan merdu suara suaminya yang bermain di nada berbeda, mengalun indah dalam 'Sore Tugu Pancoran' (Iwan Fals), 'Asmara' (Novia Kolopaking), dan beberapa lagu lawas lain yang tak kukenal. Perhatianku masih terbagi dua antara buku dan lagu, hingga Sang Bapak membuka 'Galang Rambu Anarki' (Iwan Fals) dengan paparan tentang kondisi ibu pertiwi,tentang warga miskin, tentang anak kurang gizi, tentang pergantian ke kompor gas yang mengingatkanku dengan pemandangan ibu-ibu yang mengantri membeli minyak yang kulihat tadi pagi di daerah Ciapus-Bogor. Aku menutup buku, hatiku mengalir dalam 'Galang Rambu Anarki', aku teringat kedua orang tuaku. Terbayang wajah lelah mereka setelah bekerja banting tulang agar aku dan adik-adikku merasakan manisnya susu. Astagfirullah, apa yang kulakukan? Selama ini aku melupakannya. Seharusnya aku menyertai perjuangan mereka. Tak akan kubiarkan keringat mereka terbuang sia-sia. Di lagu terakhir mereka, aku benar-benar terbakar. Bapak itu berulang kali berkata, "Hadapi saja hidup ini, serahkan pada Illahi!" Seakan rintik hujan yang memecah hening,'Hadapi Saja' milik Virgiawan Listanto--nama asli Iwan Fals--mereka lantunkan tanpa miss sedikitpun.
Bus tiba di UKI, mereka pun mengakhiri dakwahnya. Perjalanan bus itu berakhir di Lebak Bulus, tapi perjalananku, perjalananmu, perjalanan kita, masih sangat panjang. Tak ada pilihan lain, hadapi saja!
Sang pria memulai dengan ucapan salam untuk seisi bus, lalu berkata bahwa ia akan menyanyikan beberapa lagu Iwan Fals. Akupun bersiap mendengar senandung mereka sambil membaca buku yang kupinjam dari teman. Beberapa lagu berlalu, paduan melodi alto wanita itu beriringan indah dengan merdu suara suaminya yang bermain di nada berbeda, mengalun indah dalam 'Sore Tugu Pancoran' (Iwan Fals), 'Asmara' (Novia Kolopaking), dan beberapa lagu lawas lain yang tak kukenal. Perhatianku masih terbagi dua antara buku dan lagu, hingga Sang Bapak membuka 'Galang Rambu Anarki' (Iwan Fals) dengan paparan tentang kondisi ibu pertiwi,tentang warga miskin, tentang anak kurang gizi, tentang pergantian ke kompor gas yang mengingatkanku dengan pemandangan ibu-ibu yang mengantri membeli minyak yang kulihat tadi pagi di daerah Ciapus-Bogor. Aku menutup buku, hatiku mengalir dalam 'Galang Rambu Anarki', aku teringat kedua orang tuaku. Terbayang wajah lelah mereka setelah bekerja banting tulang agar aku dan adik-adikku merasakan manisnya susu. Astagfirullah, apa yang kulakukan? Selama ini aku melupakannya. Seharusnya aku menyertai perjuangan mereka. Tak akan kubiarkan keringat mereka terbuang sia-sia. Di lagu terakhir mereka, aku benar-benar terbakar. Bapak itu berulang kali berkata, "Hadapi saja hidup ini, serahkan pada Illahi!" Seakan rintik hujan yang memecah hening,'Hadapi Saja' milik Virgiawan Listanto--nama asli Iwan Fals--mereka lantunkan tanpa miss sedikitpun.
Bus tiba di UKI, mereka pun mengakhiri dakwahnya. Perjalanan bus itu berakhir di Lebak Bulus, tapi perjalananku, perjalananmu, perjalanan kita, masih sangat panjang. Tak ada pilihan lain, hadapi saja!
kehidupan ini memang kontras sekali kawan. ada yang ngamen di dlam bus. yang lain main di club. tapi saya jauh lebih menghargai musisi-musisi jalanan daripada penyanyi dangdut murahan yang sembarangan membuka bajunya di depan umum. memamerkan tubuhnya yang menurut mereka molek padahal menjijikan. saya sedikit setuju dengan kata dakwah karena kadang hal-hal seperti itu yang akan mengilhami kita.
BalasHapus