Senin, 21 Februari 2011

Dokumentasi Sehari Menghadiri Pensi

“Bandung emang ga ada matinya”

Rasanya tak berlebihan kalimat itu terlontar bagi sang kota kembang. Bandung memang selalu hidup, terlebih apresiasi seni dan industri kreatifnya, karenanya tak heran banyak musisi yang lahir dari ibu kota tanah sunda itu. Bukti tingginya penghormatan karya seni itu terlihat dari frekuensi penyelenggaraan pentas seni (pensi) disana. Setidaknya 2 minggu terakhir ini ada 2 gelaran seni yang telah dan akan saya hadiri. Event yang saya singgahi sabtu lalu adalah sebuah event bertajuk Bandoengsche (baca: bandungs). Bandoengsche adalah poin akhir rangkaian acara yang digelar oleh Permib, Perhimpunan Mahasiswa IT Telkom Bandung. Acara yang digelar sejak awal waktu ashar itu diramaikan dengan lantunan melodi beberapa musisi yang diantaranya adalah Deu Galih and Folks, Polyester Embassy, CUTS, hingga Sarasvati. Sekarang mari kita ulas para musikus yang turut andil dalam Bandoengsche.

Band pertama yang resmi menginjak panggung Bandoengsche adalah Raspberry. Kuartet classic rock itu tampil dalam naungan rambut gondrong dan tubuh yang dibalut kemeja a la penganut grunge.

Setelah para skuad rock 80’s itu turun panggung, giliran Coza mewarnai Sabtu sore yang berangin itu. Coza beranggotakan para mahasiswa UNPAR. Dua lagu cover milik The Groove dan Chrisye yang dibawakannya seakan minim inovasi. Satu-satunya magnet penampilan mereka adalah sang vokalis. Bahkan fotografer di depan panggung itu rela dihujami terik matahari demi memotret sang biduan melalui perspektif katak ke arah rok mininya.

Perang dunia pertama dipicu oleh pembunuhan pangeran Franz Ferdinand oleh seorang pembunuh bernama Gavrilo Princip. Ternyata pembunuh itu hidup lagi dan memainkan rock n roll. Gavrilo yang tutup usia tahun 1918 itu kini hadir dalam bentuk lain. Gavrilo Princip menjadi nama sebuah band yang dikomandoi vokalis jenaka yang malam harinya menjadi MC di acara itu. Tak banyak kesan dari penampilan mereka.

Bandoengsche memberi kesempatan kepada lima band untuk diaudisi dan mereka yang terbaik akan tampil di awal acara. Tiga band pertama usai menunaikan tugasnya. Band keempat yang tampil di acara itu adalah Simple. Simplisitas Simple memang tercermin dari namanya. Mereka tampil bertiga dengan formasi dua gitar dan satu djembe. Semua lagu yang mereka bawakan adalah bukan lagu mereka sendiri. Menyaksikan mereka tampil seakan menikmati nyanyian iseng di kamar kos bersama teman sebaya dengan alat yang seadanya. Meski telah tampil maksimal (bahkan jari penabuh djembe sempat berdarah), saya menyesal tidak menggunakan sesi penampilan mereka untuk rehat solat ashar.


Wehweh and the blehbleh. Ya, itu nama bandnya. Suara vokalnya mirip Ras Muhammad, musiknya tentu saja berkiblat kepada yang mulia pujaan jutaan umat Bob Marley. Kawanan enerjik ini benar-benar impresif. Ritme tradisional turut disisipkan dalam kemasan yang didominasi musik Amerika Tengah itu.

Akhirnya, lima band audisi usai meramaikan sore itu, giliran adik-adik kita unjung kemampuan motoriknya. Selain pagelaran Bandoengsche ini, Permib juga mengadakan kegiatan lomba, diantaranya lomba modern dance dan vocal group. Penari modern yang menjuarai kompetisi itu ditampilkan di Bandoengsche, mereka adalah para siswi SMAN 7 Bandung. Lihat saja panitia di belakang layar yang khidmat menyimak para dancer itu, sedemikian atraktiflah penampilan mereka sore itu.

Deu Galih And Folks adalah performer selanjutnya. Banyak alat musik yang mereka mainkan. Personilnya kebanyakan sudah dipanggil "Bapak". Galih adalah vokalis yang murtad dari jalur awalnya, grunge. Deu Galih and Folks menyuarakan lagu dengan lirik yang bercerita tentang kehidupan anak kecil. Kata ini rasanya cukup untuk mewakili penampilan mereka, impresif.



Setelah Deu Galih and Folks, ada Twisterella. Musik yang mereka nyanyikan sepertinya berbahan dasar sama dengan komposisi lagu Hear and Answer milik Topi Jerami, tentu dengan racikan yang berbeda. Tak habis selagu pun dari mereka, saya dan Van langsung meluncur ke Universitas Widyatama untuk bersilaturahmi dengan duo pujaan kami, Bottlesmoker. Di universitas itu, kami berhasil menemui Angkuy dan Nobi, berbagi produk musikal (proyek solo Van dan album kompilasi MAX!!), hingga berdiskusi tentang berbagai hal, mulai dari tempat kelahiran Angkuy, proses meniti suksesnya Bottlesmoker, dll. Transkrip pembicaraan bersama Angkuy itu akan saya terbitkan di rubrik terpisah di blog kesayangan kita bersama ini (tentu setelah mendapat persetujuan dari narasumber). Jadi, jangan kemana-mana, sering-seringlah mampir kesini. Hehe.

Sekitar jam 3 sore hari itu, kami hadir di arena Bandoengsche. Saat memarkir motor, raungan suara C.U.T.S. sudah menggema. Dengan langkah seribu saya dan Van menuju panggung. Ternyata Caustics Ultraist Totally Slice hanya melakukan check sound. Baru malamnya, sekembalinya lagi ke Dago Tea House, CUTS mulai menggila. Event ini adalah kesempatan pertama saya menyaksikan mereka tampil. Saya benar-benar terkesan dengan penampilan mereka. Saya juga menyesal mengorbankan koleksi lagu mereka demi ruang kapasitas data yang lebih besar di laptop saya. Sudahlah, mari simak pancaran pesona CUTS.








Kira-kira apa relasi antara angsa dan serigala ya, sehingga koloni musisi ini menamai dirinya Angsa dan Serigala? Entahlah, yang pasti mereka adalah manusia-manusia jenius yang mengemas pesan-pesan humanis dengan musik yang megah. Alat musik gesek, pukul, hingga tiup yang ditimpali dentum bass yang tebal, semua berbaur menjadi sajian audio-visual yang memukau. Coba tengok sosok bassis yang memasang strap bassnya di modus paling panjang, mirip Krist Noviselic-nya Nirvana yang diet super ketat dan memakai topeng Rudi Wowor. Di sayap seberang bassis, bertengger seorang violinis yang masih duduk di bangku SMP kelas 1. Bocah itu memainkan biolanya sambil sesekali memejamkan mata, begitu dramatis. Hadirin yang berbahagia, mari simak kawanan Angsa dan Serigala.







Band satu ini terkenal dengan musiknya yang tak biasa, mereka adalah Polyester Embassy. Coba perhatikan paras sang vokalis, bukankah dia mirip presiden kita saat beliau muda dulu? Ajaib!








Mari rehat sejenak, tinggalkan dulu format drum-gitar-mic. Sekarang waktunya grup vokal SMAN 7 Bandung unjuk suara.

Ini dia, penampil yang sangat tepat mengiringi langit yang diterangi rembulan merah menyala malam itu, Sarasvati. Saat tampil di Bandoengsche, Risa Saraswati sang kapten orkestra mengajak sosok Peter, tokoh mistik yang menginspirasi pembuatan albumnya. Tentu saja Peter yang dia ajak bukan Peter asli yang sebenarnya makhluk nonmaterial (setidaknya itulah yang saya yakini). Jika memang itu Peter si hantu, kenapa Teh Risa tidak sekalian saja mengundang Pocong Ngesot, atau hantu jeruk purut mungkin? atau hantu jeruk garut mungkin? Mungkin di lain kesempatan ya Teh.






1 komentar: