|
foto dipinjam tanpa izin dari Robby Pratama |
Siang itu, ketika kami masih SMA awal 2000an, Raindy menyodorkan sebuah kaset berwarna dominan putih. Dia merekomendasikan saya dengar album "and justice for all", gubahan Metallica. Katanya lagu One paling bagus. Saya dengar, dan tak lanjut menikmati. Terlalu pelan temponya, ga cocok sama telinga saya yang waktu itu masih nyaman disumpali musik punk (dari Rancid, Bunga Hitam, sampai Blink 182). Padahal bertahun-tahun kemudian, lagu One jadi salah satu lagu Metallica yang saya suka, selain Enter Sandman. Ga banyak memang lagu Metallica yang saya suka, meski di hard disk komputer ada dua album (Ride The Lightning & Death Magnetic) yang tersimpan, kadang terputar setelah tombol shuffle di pemutar musik aktif.
Baru saja saya khatam membaca majalah tempo edisi pekan lalu, edisi bercover muka Rudi Rubiandini yang diciprati tinta. Dalam majalah itu, ada paket artikel tentang Metallica, dari sejarah berdirinya salah satu dari empat perintis trash metal itu, bagaimana promotor menempuh dua tahun perjuangan mendatangkan mereka, hingga curhatan gubernur rocker Jokowi soal perkenalannya dengan Metallica. Sebenarnya bukan hal aneh kalau Metallica dibanjiri fans yang sejak lama ingin menonton pertunjukan mereka secara langsung. Berdiri tahun 1981, band yang dikomandoi drummer Lars Ulrich ini sempat digitari Dave Mustaine, gitaris yang setelah didepak dari Metallica, mendirikan Megadeth dan bertengger sejajar dengan eks bandnya sebagai bagian dari empat serangkai pionir trash metal (Metallica, Anthrax, Megadeth, Slayer). Musik dan (mungkin) sikap Metallica menyalakan lilin inspirasi musisi lain sehingga mereka juga menggubah karya yang tak kalah indah. Pantas Metallica diburu.
Yang juga menarik dari Metallica, adalah solidnya relasi James Hetfield dan Lars Ulrich. Lars pertama kali yang mengajak James ngeband, lalu beberapa personil lain masuk dan keluar. Merekalah Kurt Cobain dan Krist Novoselic-nya Metallica. Siang tadi saya nonton paket berita tentang sejarah Metallica. Di sebuah penghargaan James mengucap terima kasih karena Lars mengajaknya bersama dalam satu band. Mereka lalu berbagi peluk persahabatan.
Jika seandainya, hari ini ketika Metallica kembali menginjak tanah Indonesia, saya ditawari sebuah tiket gratis untuk menonton kuartet milik Papa Het, saya mungkin bakal seperti ketika menerima "and justice for all", menontonnya untuk sebuah sensasi konser dengan artis kelas gigantik, lalu keluar stadiun dengan perasaan seperti telah menonton konser biasa. Atau bisa jadi saya tolak tawaran tiket gratis itu, kalau memang ada orang lain yang saya kenal, yang sangat sakau dengan Metallica dan berharap sampai ubun-ubun bisa nonton band pujaannya. Tiket itu mungkin saya hadiahkan ke dia. Pesta kedua sejak 20 tahun lalu itu pun baru bubar. Selamat hari raya Metallica se-Indonesia.