Sabtu, 10 Agustus 2013

Demi Heri



"Tadi pas naik beus ka bandung mah aya keneh her"

"Ka bandung kumaha ai enek, teu ka bandung da, karawang. belegug!"

"Oh enya astagfirullah, tos pikun enek"

Aku juga tak tahu kenapa malah bandung yang tiba-tiba kuingat. Tapi yang jelas, saat di bis dompet itu masih ada di tas yang aku bawa. Entah dicuri atau hilang, entah dimana ia berpindah tangan, yang pasti aku tak pegang ongkos lagi sekarang. Aku dan cucuku tak bisa pulang.

"Nenek siapa namanya?" Tanya seorang pria berkemeja biru. Tarmini jawabku.

"Lahir tanggal 24 bulan 4 tahun 32. Berarti berapa tuh? 81!" Tegasku setelah ia lanjut bertanya soal umur. Tadinya mau aku tunjukkan KTP, tapi KTP yang selalu kubawa itu hilang bersama dompet dan uang di dalamnya. Orang sering tak percaya kondisiku begini bugar untuk usia setua ini. Kalau mereka tak percaya, ya sudah. Paling kalau mereka tanya soal apa rahasianya, ya aku jawab kalau dulu waktu masih muda aku sering bangun malam, lalu mandi dan solat. Aku juga pernah juara lomba gerak jalan se-priangan. Fotonya masih ada.

Aku bersyukur diberi usia panjang. Aku senang bisa menemani Heri. Kasihan dia. Sejak ayahnya pergi entah kemana, Popon ibunya harus sendirian nutupi kebutuhan hidup, jadi tukang cuci. Heri sering ditinggal, aku yang urus. Akhirnya aku jadi seperti ibunya sendiri.
 
Popon akhirnya dapat pekerjaan baru di pabrik tekstil di Karawang. Meskipun harus jauh dari keluarga, hasilnya lumayan, Popon sering kirim wesel tiap bulan. Dia makin jarang pulang ke rumah kami di Kuningan Jawa Barat. Satu-satunya kesempatan dia pulang, paling waktu lebaran. Popon biasanya pulang ke rumah seminggu sebelum lebaran. Lain dari biasanya, tahun ini anakku belum juga pulang. Karena itulah, aku sekarang ada di sini.

Heri sudah rindu ibunya. Dia juga khawatir. Apalagi pas lebaran tahun ini, Heri berulang tahun ke-13. Empat hari lagi lebaran, tapi anak tunggalku itu belum juga pulang. Aku dan cucuku nekat nyusul ke Karawang.

Setelah menempuh berjam-jam perjalanan, kami tiba di rumah kos Popon. Pintu kamarnya dikunci, lampu kamar mati. Tetangganya bilang, dia baru pulang ke rumahnya di Kuningan, ke rumah kami. Pas mau menyusul, aku sadar dompet hilang.

Aku tak mau membatalkan puasa, tanggung. Dokter di posko ini juga bilang tekanan darahku normal. Untung aku menemukan posko mudik ini. Setidaknya ada yang mau dengar kisah malang ini. Ada wartawan, dokter, polisi, tentara. Kalau lihat tentara, aku ingat almarhum suamiku. Terakhir kali ia bertugas di Korem 061 Suryakencana Bogor. Selama kami bersama, tak pernah sekalipun ia marah. Orangnya memang sabar. Suamiku meninggal sebelum Heri lahir. Aku cuma bisa menceritakannya ke Heri lewat sebuah foto usang hitam-putih.

Mungkin karena aku cerita soal suamiku, seorang tentara berbaik hati mengantarkan ke bis menuju Kuningan. Seorang polisi juga membekaliku ongkos. Lebaran kali ini benar-benar beda. Demi bertemu anakku, ibunya Heri, perjuangannya tak mudah. Kugenggam erat tangan yang memegangku. Kutatap muka polosnya. Ini juga demi cucuku Heri.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar