Ngertakeun Bumi Lamba
Awi Goong melolong. Suling bambu menyusul dengan muntahan melodinya yang khas. Kemudian karinding, bonang, kendang, masuk ambil posisi dalam sebuah lingkaran kecil. Sabtu pagi itu ratusan orang berkumpul di kaki Gunung Tangkuban Perahu, diantara mereka ada yang berpakaian serba hitam lengkap dengan ikat khas sunda di kepalanya. Ada yang telanjang dada, ada juga yang berbusana kemeja rapi ala setelan sembahyang umat Hindu. Mereka disana untuk sebuah upacara adat yang dipraktikkan penganut Ajar Pikukuh Sunda atau yang lazim dikenal dengan nama Sunda Wiwitan: upacara Ngertakeun Bumi Lamba.
Ngertakeun Bumi Lamba diawali dengan ritual di sebuah lapangan di kaki Gunung Tangkuban Perahu. Gemerincing lonceng mengiringi bacaan doa yang dihantarkan jaro tangtu atau pemimpin upacara adat. Berbagai hasil bumi yang telah tersaji di sebuah altar, kemudian diarak setelah sebelumnya didoakan. Menyusuri jalan menanjak sepanjang sekitar dua kilometer, ratusan orang itu pun menuju Kawah Ratu puncak Gunung Tangkuban Perahu. Setibanya disana, inti upacara pun dihelat. Ngertakeun Bumi Lamba secara harfiah bermakna menyejahterakan jagad raya. Kata ngertakeun berdasar “kerta”, yang berarti sejahtera. Sementara bumi lamba bermakna mikrokosmos (diri sendiri) dan makrokosmos (alam semesta). “sering kita lupa bahwa lingkungan kita adalah lingkungan yang patut melihatnya itu sebagai wilayah suci. Seperti gunung, hutan, sumber air, sungai, lautan, atau intinya matahari bahkan, adalah sesuatu yang suci. Karena sucinya, kita harus mau memelihara itu semua supaya menjadi kerta”, ujar Gingin Akil, Sang Jaro Tangtu atau pemimpin upacara adat. Upacara ini digelar tiap bulan ketujuh dalam sistem penanggalan Kalasunda, sistem pegaturan waktu berdasarkan peredaran bulan dan matahari. Bulan ketujuh atau kapitu tersebut, biasanya jatuh pada bulan Juni. Upacara Ngertakeun Bumi Lamba juga dimeriahkan dengan tarian yang bernuansa suka cita. Sekitar 45 menit gelaran upacara berlangsung, sesaji yang dibawa dari mata upacara sebelumnya, dilarung ke dalam kawah. Dengan demikian, tuntaslah ritus tahunan tersebut.
Matahari terbit di kampung cireundeu, kampung adat di kelurahan leuwigajah yang dulu terkenal karena tempat pembuangan sampah akhirnya. |
Tiga hari berselang, puluhan kilometer dari arena upacara Ngertakeun Bumi Lamba, sebuah persembahyangan digelar. Di Padepokan Surya Kancana Pajajaran, di Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung, belasan orang berpakaian serba hitam berkumpul. “Ini babakti atau pasaduan, artinya lapor. Karena minggu lalu kita melakukan Ngertakeun Bumi Lamba, berlangsung rahayu, selamat. Kita bersyukur kepada Tuhan,” ujar Rakean Pitara Lalam Wiranatakusumah atau Eno, salah seorang tokoh di padepokan itu. Sembahyang ini digelar sejak “wanci sareupna”, atau waktu diantara pukul 6 sore hingga sekitar jam 9 malam. Serupa dengan Ngertakeun Bumi Lamba, persembahyangan ini juga menghaturkan sesaji berupa aneka ragam buah-buahan. Sesaji yang terpapar di atas altar didoakan dalam balutan kidung yang diwarnai denting suara kacapi dan alunan suling bambu. Sesekali terdengar bunyi senggukan tangis dari samping altar. “Kalau kita dalam doa ada ibu, bapak, buyut, bao, jangaware (leluhur), sampai ke tingkat para batara, dewa, baru Tuhan. Atau kalau mau diambil dari atas, dari Tuhan turun. Jadi sembahyangnya gitu. Karena ada perantara kan sebelum kita hidup,” papar Eno yang sehari-hari mengajar pencak silat itu. Sembahyang kemudian ditutup dengan memasukkan sesaji ke dalam goah atau kamar sakral. Hadirin pun saling bersalaman tanda sembahyang usai.
Menjalani Hidup Sebagai Penganut Sunda Wiwitan
Dalam pemaparan yang terbata-bata, emosi Eno tak bisa disembunyikan ketika ia menjelaskan keyakinan yang ia pilih. “Ya agama. Ini agama justru agama sunda, karena kan keberadaanya seperti ini. Kita juga eling ke Gusti, ke alam. Dalam sehari-hari kita menjalankan dasar welas asih yang diajarkan Prabu Siliwangi, silih asah, asih, asuh. Itu dasar ajaran sunda wiwitan,” ujarnya berapi-api. Nada tinggi Eno beralasan. Pasalnya, pemerintah tak mengakui Sunda Wiwitan sebagai agama. “Saya pengen semua warisan budaya ini diakui. Kalau sudah mengakui bahwa ini suatu agama, mohon diusut. Kalau mereka nanya kitab, kita juga punya kitab. Apakah naskah siksakanda ingkarsian itu bukan kitab?!”
Tidak mudah memang menjalani hidup sebagai penganut aliran kepercayaan—begitu ajaran ini dikelompokkan dalam sistem administrasi negara. Seorang penganut aliran kepercayaan, sebetulnya bisa saja mengosongkan baris agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Namun pilihan itu sarat risiko. Ada stigma negatif terhadap mereka yang tidak mengisi baris agama dengan salah satu pilihan yang disediakan pemerintah. Belum lagi kekhawatiran adanya tindakan intoleransi. Sadar dengan kemungkinan munculnya konsekuensi itu, Eno pun memilih salah satu agama dalam KTP-nya. “Itu bukan pilihan saya, tetapi aturan umum seperti itu. Ya dicantum di KTP Islam, karena tidak ada lagi. Karena mayoritas islam, kita ikut yang banyak. Sebetulnya itu kalau dianggap masalah ya masalah, disebut tidak ya tidak. Yang penting lampah (perilaku),” pungkasnya.
Argumen terakhir Eno bahwa jenis agama bisa jadi masalah atau tidak, senada dengan yang diungkapkan Yana, seorang penganut Sunda Wiwitan dari Kampung Cireundeu Kota Cimahi Jawa Barat. “Dulu kami tidak terlalu peduli dengan identitas, terserah yang mau menuliskan. Tapi akhirnya muncul pertanyaan. Di media, banyak kasus pencemaran agama. Kami jadi riskan ketika kami sebagai masyarakat adat dilematis ketika kami bukan identitas itu, karena negara tidak mengakomodasi itu.” Berbeda dengan Eno, Yana nekat ambil risiko mengosongkan bagian agama di KTP-nya. Berbagai konsekuensi pun harus ia telan.
“Sebenarnya ingin sekolah tinggi, orang tua pun mendorong, tetapi karena sebelum masuk sekolah terbayang bahwa kita akan bertemu pelajaran agama, akhirnya menjadi traumatis, tidak mau sekolah. Karena terbayang, yang akan dihadapi kita sebagai objek orang lain. Membuat kita mati kutu.” Yana mengawali kisahnya. Pria 37 tahun itu memutuskan berhenti sekolah saat duduk di bangku kelas dua SMP. Yana lelah dengan perlakuan diskriminasi. Yana yang kini aktif menjadi wali siswa-siswa penganut Sunda Wiwitan di sekolah itu, juga punya kisah pilu lain. Seorang lelaki penghayat, tidak disunat. Karena lain dari anak sebayanya, seorang guru pernah mempermalukan anak itu di depan kelas. Walhasil, si anak ogah lagi bersekolah. Beruntung, kini beberapa sekolah ada yang toleran dengan perbedaan ini. Yana tak jarang diminta membuat soal ujian untuk seorang anak penganut Sunda Wiwitan.
Menjadi seorang penghayat memang sarat cobaan. Selain soal pendidikan, penganut Sunda Wiwitan juga dirugikan dengan kebijakan lain yang tidak memudahkan kehidupan mereka: pernikahan adat tidak diakui sah oleh dinas catatan sipil. “Sangat menyedihkan ini. Dinas catatan sipil tidak mau melayani kami karena tidak punya surat nikah. Akhirnya mereka mau melayani tetapi kolom di akta kelahiran di bagian ayah tidak dituliskan. Terpaksa kami dengan berat hati harus melakukan jalan belakang, upaya tidak bagus dan baru bisa mencatatkan (pernikahan) di catatan sipil” Yana berkisah. “Kalau saya lihat dari dokumen yang ada, kami pernikahan adat sudah dicatatkan dari jaman belanda,“ seberkas dokumen Yana keluarkan dari sebuah tempat arsip data. Berlembar-lembar akta pernikahan ia tunjukkan satu per satu. Semua kertas tebal itu ditulisi aksara sunda kuno dan bercap pemerintah Hindia Belanda. Satu diantaranya bertahun 1941. Lainnya tak menggunakan penanggalan masehi. “Ironisnya setelah merdeka, setelah bebas penjajahan, negara belum mampu memberi keadilan bagi kami sebagai warga negara, dan belum bisa mencatatkan secara adat,” pungkas Yana. Ditemui di tempat terpisah, budayawan sunda Lucky Hendrawan mengingatkan bahwa perkawinan adalah peristiwa adat, bukan peristiwa agama. “Oleh sebab itu ketika orang kawin, menggunakan upacara adat. Pakaiannya pakaian adat. Jelas itu wilayah adat, kenapa agama ikut campur,” papar pria yang beraktivitas sosial di Bumi Dega, rumahnya di Jalan Dago 410 Bandung itu.
Perlukah Agama?
Rentetan peristiwa yang dialami para penganut Sunda Wiwitan, kemudian bermuara di satu pertanyaan. Perlukah status agama bagi mereka? jawaban tegas meluncur dari mulut Gin-gin Akil, pemimpin upacara Ngertakeun Bumi Lamba. Status keagamaan menurutnya bukan hal penting. Bahkan menurutnya, agama tak perlu diajarkan di sekolah. Negara pun menurutnya tak perlu berurusan dengan agama rakyatnya. Kalau perlu menurut Gin-gin, bubarkan kementerian agama. “Sepertinya negara yang tidak ngurusin itu gak jadi negara bangkrut dan buas. Kita ngajarin agama dan sebagainya tapi hutan kita paling rusak dan paling bengis sama binatang,” ujarnya. Namun pendapat berbeda diutarakan budayawan Lucky Hendrawan. Menurutnya kalau pun kementerian agama tetap ada di kabinet baru nanti, menteri agama haruslah dia yang melampaui keagamaan. Dalam bahasa Lucky, menteri agama perlu untuk “tidak beragama”.
Pada akhir November tahun lalu, DPR mengesahkan Undang-Undang nomor 24 tahun 2013 tentang administrasi kependudukan. Perundangan baru itu menggantikan aturan serupa yang sebelumnya terbit pada 2006. Dalam hal pencantuman kolom agama, tak ada perubahan di sana. Dalam UU terbaru, isian agama masih perlu dicantumkan dalam KTP elektronik. Sekjen Badan Musyawarah Sunda Ernawan Kusumaatmadja menyambut baik aturan yang senada dengan pendapatnya itu. Ernawan memandang agama penting untuk kepentingan statistik dan dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan. Bagi birokrat seperti Rully Sulfanorida, pencantuman kolom agama tak cukup berhenti sampai sana. Sekretaris Lurah Leuwigajah ini akan merasa pekerjaannya lebih mudah jika Sunda Wiwitan atau aliran kepercayaan lain dituliskan secara spesifik, agar mempermudah pengelompokan. Harapan senada juga muncul dari seorang tokoh masyarakat adat Kampung Cireundeu, Ridwan Tajudin. “Mudah-mudahan 2015 ke sana sudah ada legalitas sendiri,” ujar ketua RW 10 Kampung Cireundeu ini optimis. Dalam teater imajinasinya, Ridwan membayangkan Indonesia yang ia tempati tetap harmonis meski dengan pelabelan berbagai jenis agama. “Kami tidak mengenal adanya minoritas. Cireundeu sejak saya lahir tidak mengenal contoh kecil konflik, walaupun berbeda. kami tidak mengingnkan keseragaman tapi ingin berbeda. Kami cukup bangga, kalau toh miniatur cireundeu ini dibawa ke nasional, bagus. walau berbeda, tapi hidup rukun sauyunan saling bantuan, gotong royong,” tutup Ridwan. []
Galeri Foto
Galeri Foto
Anak-anak Kampung Cireundeu sedang bermain Cingciripit |
Tiap sore, anak2 di kampung adat cireundeu bermain permainan tradisional, diiringi duet kacapi-suling. Dalam gerak dan nada dalam permainan tradisional, ada banyak makna dan pelajaran. |
Anak-anak di kampung adat cireundeu bermain ucing tihang. Mereka yang "ucing" harus merebut tiang milik lawan main. Menyenangkan permainan ini. Nontonnya aja kita bisa ikut merasakan riangnya mereka |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar