Sabtu, 28 April 2012
Hey Man Look At Me Rockin' Out, I'm On A ...
Rheza - Yesterday's Feeling (The Used Cover) by kartikaadyani
Rheza - I Don't Wanna Know (New Found Glory Cover) by kartikaadyani
Rheza feat. Fajar - Lembah Baliem (Slank Cover) Yamko Rambe Yamko - Mash Up by kartikaadyani
Rheza feat. Fajar - Tong Kosong (Slank Cover) by kartikaadyani
Rheza feat. Cet - Sugar We're Going Down (Fall Out Boy Cover) by kartikaadyani
Rheza feat. Fanfan - Smells Like Teen Spirit (Nirvana Cover) by kartikaadyani
Gambar dan rekaman suara oleh Kartika Adyani
Jumat, 27 April 2012
Mengenang Ulfah
Saya mengenal Ulfah pertama kali di kepanitiaan MPKMB 45 (Masa Pengenalan Kampus Mahasiswa Baru angkatan 45). Ulfah waktu itu menjabat sebagai kepala divisi konsumsi. Di tahun kedua kuliah, kami belajar di satu departemen, satu kelas, satu angkatan, hingga satu dosen pembimbing skripsi. Di akhir masa kuliah, Ulfah dikabarkan sakit. Penelitiannya tertunda karena sakit itu. Dalam tiap kesempatan jenguk Ulfah, saya selalu berhalangan ikut. Saya sempat menitipkan sebuah lagu buat Ulfah, judulnya Sembuh Ulfah.
Sembuh Ulfah by Rheza Ardiansyah
Akhir Februari lalu, sakit Ulfah makin menjadi. Saya menuliskan surat penyemangat dan menitipkan dwilogi Manis Getir Skripsi. Hari Selasa tanggal 24 April 2012, Ulfah dibawa ke rumah sakit. Besoknya, Ulfah menghembuskan nafas terakhir di samping ayahnya.
Ulfah adalah sosok yang selalu melekat dengan kesan kebaikan. Dia aktif di organisasi keagamaan kampus IPB. Di hari pemakamannya pun, rekan seperjuangannyalah yang mengantarkannya ke rumah terakhirnya. Ulfah pernah mengingatkan ayahnya untuk sabar waktu beliau menyatakan simpati atas kondisi Ulfah yang antiklimaks. Solat sunah macam solat duha, tak pernah ia lewatkan. Jangan tanya soal solat wajib.
Selamat jalan Ulfah...
Sabtu, 21 April 2012
Jumat, 20 April 2012
The Crew
Sejak terbit pertama kali tanggal 22 Agustus 2011, kini Can I Say Magazine udah punya 7 rilisan. Sejak edisi ketujuh itu, Can I Say dibuat oleh lima orang kru tetap: Saya, Amin, Windi, Dian, Suci. Di foto di bawah ini Suci ga ada. Belum tahu Can I Say Magazine? Klik aja gambar di bawah ini :)
Kamis, 19 April 2012
Bandung Malam
Tanggal 18-24 April, di Museum Konperensi--betul, pake p--Asia Afrika (MKAA) ada peringatan 57 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA). Di sisi lain, saya adalah salah satu bagian dari Asia Africa Youth Forum (AAYF). Para aktivis forum itu akan meramaikan acara peringatan KAA di hari Minggu tanggal 22 April. Saya tidak bisa hadir, karena saya tidak libur. Hari libur saya adalah hari Rabu dan Kamis tanggal 18-19 April. Karena merasa tidak indah rasanya seorang anggota AAYF justru tidak ambil bagian dalam peringatan itu, maka saya pun berangkat hari Rabu sore dari Jakarta ke Bandung. Perjalanan sore di Jakarta seperti biasa bagaikan neraka karena macet jam pulang kerja. Saya baru bisa berangkat dari Lebak Bulus ke Bandung jam 5 sore. Empat jam kemudian, saya tiba di MKAA setelah menembus hujan sepanjang jalan. Disana saya sempat mengikuti diskusi sebuah film yang baru saja ditayangkan tapi malangnya saya ga kebagian nonton. Film itu berjudul Dragons Beget Dragons. Film dokumenter itu bercerita tentang sejarah dan perkembangan seni gambang kromong, menarik. Saya berniat membeli DVD-nya usai diskusi nanti. Malangnya lagi, DVD yang dijual ludes terjual. Saya memperkenalkan diri ke sang sutradara bahwa saya bela-belain dari Jakarta ke MKAA ini, demi acara ini. Akhirnya saya dikasih kesempatan membeli satu CD yang tersisa. Calon pembeli lain harus kecewa karena saya yang didulukan. Hehe. Setelah diskusi itu, saya lalu menelusuri jalan di pusat kota bandung dan mengambil beberapa foto. Berikut foto-foto selama saya tamasya malam sendiri di Bandung.
Graffiti indah di bandung selalu membuat saya iri dan sedih. Iri ingin bisa membuat karya seindah itu, dan sedih karena para vandalis melakukan aksi ilegalnya tak seindah mereka. :D
Foto diatas memperlihatkan patung tentara wanita (di kanan) yang menyimbolkan keberanian pahlawan perempuan yang rela turun ke medan perang kemerdekaan. Patung itu menghadap papan iklan sabun yang menampilkan perempuan cantik berkulit mulus yang entah mengesankan apa.
Mengepul
Lukisan jalanan di Jalan Braga
Lukisan jalanan di Jalan Braga 2
The Museum
Jalan Bandung malam
The DVD
The DVD
Kosan Rizki
Elora
Kata Elora berasal dari bahasa Yunani yang berarti titik cahaya. Empat belas penulis yang disatukan dengan latar belakang institusi pendidikan yang sama, mengartikan elora dalam sebuah buku. Dengan sub judul "Karena Cinta Tak Selalu Berwujud Bunga", Elora berisi empat belas kisah tentang bagaimana para penulisnya mendefinisikan cinta sebagai titik terang, dalam sebuah paparan. Elora adalah buku terbitan pertama komunitas Author of The Dream (ATD). Dalam rilisan perdananya itu, ATD menghimpun dan menghadirkan kreasi para penulis yang semuanya sedang dan telah menempuh studi di Insitut Pertanian Bogor (IPB). Pembuatan buku ini bermula dari pesan beruntun melalui email, yang kemudian menjadi nyata dalam obrolan di pertemuan fisik hingga akhirnya karya mereka nyata ada dalam wujud buku. Untuk terbitan karya pertamanya, para awak ATD sepakat untuk meniupkan ruh bernama cinta dan menjudulinya dengan sebutan Elora.
Elora dimulai dengan kisah puitis karya Turasih bertajuk Lasut. Sebenarnya slogan Karena Cinta Tak Selalu Berwujud Bunga tak sepenuhnya berlaku di buku ini. Turasih menghadirkan kisah yang ibarat mawar. Kata-katanya jadi mahkota, alurnya si duri bunga. Lalu berlanjutlah ke kisah kedua. Disana ada "Cinta Repot"-nya Ranitya Sari. Pembaca yang merasa terlalu abstrak membaui bunga kata Turasih, bisa terobati dengan kisah lugas yang dituturkan Sari. Penulis yang sedang jatuh cinta dengan Chansung dan Choi Seunghyun ini juga menambahkan informasi yang ia dapat di bangku kuliah. Tulisan Sari ini Informatif dan naratif.
Galau di Gelombang, itulah tajuk tulisan karya Anatola Essya Angesti. Kisah pendek ini bertutur tentang dinamika hubungan intergender sepasang kekasih yang (sepertinya) kira-kira berusia belasan tahun. Aisyah Noor kemudian berbagi kisah berwarna pink tentang pendamping wisuda. Kisahnya terbungkus dalam Love Letter from Arjuna. Keberadaan mereka yang tidak sempurna, kadang membuat kita berpikir justru betapa sempurnanya mereka. Cinta Untuk Si Bisu dan Tuli yang ditulis Valentina Sokoastri menggambarkan hal itu. Wujud cinta yang diceritakan di buku ini, juga dicurahkan dalam deskripsi pesona Indonesia khas penulis. Lovenesia adalah tulisan yang dimaksud. Karya Risna Amalia ini tampil lebih nyata karena disertai foto-foto. Dody Setiawan adalah mahasiswa jurusan Meteorologi di IPB. Sepertinya latar belakang pendidikannya begitu berpengaruh terhadap materi yang ia sampaikan di Handprint: Bukti Cinta Untuk Bumi. Dody bertutur dengan begitu ilmiah, tentu tetap tidak melepas cinta sebagai dasar pijakannya. Meski bukan terbit di bulan Ramadhan, Selamat Ramadhan Bu Ni tetap tampil relevan dengan mengisahkan betapa sosok Bu Ni yang diceritakan memang layak dikenang. Rinaldy Ardana Harahap-lah yang menceritakan kisah itu.
Karena ditulis oleh para penulis yang terkait dengan IPB, akan tak sempurna rasanya bila tak ada yang menceritakan "kisah cinta"-nya selama berbaju mahasiswa. Jihan ternyata mengisahkan cerita berbalut jas almamater yang akan segera ia tanggalkan. Scrispy adalah kisah tentang skripsi yang ia jalani dengan penuh penghayatan. Abdul Haris Nasution merenungi sumber pancaran cinta yang ia rasakan, ibu. Simak buah pikirannya dalam Dari Ibu Untuk Indonesia. Tulisan berikutnya masih bertema sentral ibu. Kali ini Andika Tri Saputra yang bercerita. Ia bertutur dalam tajuk "Kado Pandawa". Di tulisan kedua belas, Rheza Ardiansyah mengajak pembaca menengadah ke langit malam, menyusuri lorong di sebuah panti asuhan, hingga menemukan "Celah Pencapaian" yang mungkin juga dimiliki bukan hanya oleh tokoh di kisahnya saja, tapi juga kita semua. Judulnya hanya satu tanda baca, "?". Tulisan itu digubah Chrismaspoy Bintari. Isinya tentang sebuah dialog tentang keluhan dan harapan. Elora kemudian ditutup dengan Live Your Life karya Irvan Setya Adji. Irvan mengaduk pengalaman pribadi yang dicampur pemaknaan tentang jalan hidup pasca kehidupan kampus. Alhasil, racikannya bisa jadi membuat kita menjalani hidup yang manis, dengan menjalani hal-hal yang kita cintai.
Perbedaan suasana tiap titel bisa jadi kekurangan dari buku 124 halaman ini. Singkatnya kerangka cerita juga bagi beberapa pembaca mungkin menjadikan tidak sempurnanya kepuasan membaca. Meski demikian, buku ini sangat bernilai koleksi karena akan dikenang sebagai buku pertama yang memadukan tulisan-tulisan penulis yang terikat dalam satu naungan almamater kampus Institut Pertanian Bogor.
Langganan:
Postingan (Atom)