Waktu Rolling Stone bikin acara Music Biz On Campus di IPB, saya berbincang dengan Wendi Putranto yang ketika itu lagi ngobrol sama Fakhri Zakaria. Saya lalu dikenalin sama jurnalis musik yang biasa dipanggil Jaki itu. Dia ternyata orang Bogor, tapi kuliah di UGM, Jogja. Beberapa bulan kemudian, Jaki menulis surat untuk civitas akademika IPB di hujanradio.com. Di tulisan itu dia menggugah pegiat seni di IPB agar bisa unjuk gigi lebih tonggos lagi. Lalu saya kasih komentar cukup panjang di suratnya. Beberapa saat kemudian, akun @hujanradio menawarkan agar komentar saya dibuat posting khusus sebagai tanggapan atas tulisan Jaki. Saya menyanggupi, lalu dipublikasikanlah tulisan bertitel geliat tersebut ada di dalam kampus: tanggapan untuk Fakhri Zakaria. Beberapa jam setelah tulisan itu terbit, Jaki mengomentari. Komentar di tulisan Jaki lebih banyak lagi. Saya suka dengan diskusi macam itu.
Berikut saya sertakan naskah asli yang saya kirim ke redaksi hujan radio. Terima kasih untuk tim hujan radio atas kesempatan dimuatnya argumen saya di situs pusaka mereka.
Saya adalah alumni IPB yang baru lulus akhir tahun 2011 lalu. Saya merasa terpanggil berbagi opini terkait tulisan yang digubah Fakhri Jaki tentang surat khususnya yang ditujukan kepada civitas akademika kampus pertanian yang saya banggakan. Pembaca yang budiman, dalam kesempatan ini saya akan berusaha menggambarkan kondisi apresiasi seni musik di IPB dan menjabarkan beberapa hal yang kiranya jadi penyebab tiadanya gelaran musik gigantik seperti dimiliki universitas lain. Paket argumen ini disarikan dari komentar yang saya tulis di laman tulisan Jaki ini http://hujanradio.com/features/surat-untuk-civitas-akademika-ipb/.
Di IPB, kegiatan artistik digerakkan oleh beberapa komunitas dan organisasi resmi kampus. Beberapa komunitas yang saya maksud diantaranya adalah Komunitas Ladang Seni dengan Panggung Mahasiswa-nya yang digelar tiap Rabu malam di kantin Stevia (http://www.canisaymagz.blogspot.com/2012/03/ladang-seni-ipb.html), atau Komunitas WTS (Wahana Telisik Seni dan sastra) yang konsisten menggelar Ruang Apresiasi Seni dan Sastra (RASSA) tiap bulan (http://www.canisaymagz.blogspot.com/search/label/Komunitas%20WTS). Kedua komunitas itu menurut saya sudah produktif menggelar panggung apresiasi. Beberapa dokumentasi kegiatan komunitas lain di IPB bisa kamu lihat di tautan ini http://hore-punya-blog.blogspot.com/2011/08/iwan-fals-punya-tempat-khusus-di-ipb.htmldan ini http://hore-punya-blog.blogspot.com/2011/06/forum-basemen.html.
Selain komunitas, ada tiga organisasi seni mahasiswa yang legal formal diakui institusi. Artinya mereka diakui pihak rektorat IPB (Direktorat Kemahasiswaan IPB) sebagai UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang menerima subsidi dana dan dukungan lain untuk kegiatan mereka. Ketiga organisasi itu adalah Agriaswara, Gentra Kaheman dan MAX!!.
Agriaswara adalah paduan suara yang fokus ke pementasan tahunan, konser pelantikan, dan lomba-lomba tarik suara hingga ke luar negeri. Gentra Kaheman adalah organisasi seni sunda yang juga aktif di pagelaran tahunan dan kompetisi/penampilan ke luar negeri. MAX!! mungkin secara identitas pergerakan, bentuknya mirip dengan FMF (Forum Musik Fisipol) di UGM. Bedanya, MAX!! ini cakupannya se-IPB. MAX!! dulu diantaranya pernah mengundang Glenn Fredly (itu yang saya ingat dari cerita-cerita senior MAX!!). Selain menggelar acara musik yang menampilkan bintang besar, MAX!! juga pernah melaksanakan pemecahan rekor MURI untuk rampak gitar terbanyak (2006), mengikuti konser kolaborasi MAX!!-Agriaswara-Gentrea Kaheman (2007), kompetisi band MIXMAX (2008), konser musik tradisional-modern ETNIX (2009), dll. Meski dulu MAX!! banyak menemui resistensi dalam menggelar wahana apresiasi, kini organisasi yang menjalani tahun kedelapannya ini, sudah stabil dengan beberapa programnya. MAX!! punya event-event untuk mewadahi musisi-musisi untuk tampil di kampus, sebut saja Music Corner, Coaching Clinic, dll. MAX!! juga memproduksi album kompilasi tiap 2 tahun. Hingga kini sudah tiga rilisan yang telah terbit. Saya pribadi bangga dengan album kompilasi ini, meski ga sebesar Masa Indah Sekali Pisan Banget, JKT:SKRG atau Jogja Istimewa, setidaknya MAX!! bisa bilang (melalui album itu) bahwa di IPB, musik/musisi juga ada. Soal gelaran yang mampu menyedot perhatian massa semagnetik JGTC (Jazz Goes To Campus) misalnya, IPB memang belum punya. Penyebabnya mungkin mahasiswanya terlalu study oriented, sehingga squad yang mau dan bisa mewujudkannya, kurang. Mungkin mata kuliah yang diajarkan di IPB susah dan banyak tugasnya, jadi harus banyak waktu belajar dan jarang ada waktu kosong buat bikin acara musik. Hal itu saya lihat ketika teman-teman yang mulanya aktif di MAX!!, mulai perlahan mengurangi aktivitas organisasi karena penambahan tugas kuliah seiring naik tingkatnya mereka. Atau mungkin ga banyak yang pengen IPB punya acara musik ikonik, mungkin sudah merasa nyaman dengan kondisi apresiasi yang sekarang, entahlah. Belum ada survey resmi tentang alasan-alasan itu. Saya sendiri sudah mengusulkan ke divisi riset Koran Kampus IPB agar dibuat survey kecil biar kita tahu sisi mana yang perlu diperbaiki, agar IPB juga punya keterkaitan dengan kata “musik”. Semoga para jurnalis kampus tertarik mengangkat isu ini.
Saya pribadi setuju jika IPB punya trik melalui jalur musik untuk menarik perhatian anak SMA agar mau kuliah di IPB dan belajar pertanian. Dengan begitu, masalah kurangnya peminat studi pertanian—yang dibahas khusus dalam ini http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/42660 —bisa juga teratasi. Harapan saya, event musikal khas IPB itu tidak yang bersifat mengokohkan keakuan. Jangan sampai hanya karena ingin menunjukkan bahwa IPB juga bisa seperti universitas lain, lalu dihelatlah acara musik yang akbar, tapi melupakan talenta lokal untuk turut ditampilkan.
Contoh gelaran besar yang melibatkan seluruh civitas akademika IPB adalah Gebyar Nusantara. Ini adalah event unjuk kebudayaan daerah asal masing-masing mahasiswa IPB yang berasal dari seluruh Indonesia. Selain itu, ada IPB Art Contest. Kedua acara yang sering digelar di gedung Graha Widya Wisuda (GWW) ini diarsiteki BEM KM IPB. Di IAC, musisi dengan basis massa besar diundang, tentu dengan tidak melupakan musisi-musisi kampus yang juga dipersilahkan berpentas. Selain Sheila On 7 yang Jaki ceritakan, Cokelat juga pernah hadir di gelaran ini. Seniman benderang macam kedua band tadi, Mocca, The Dance Company, Tompi, Afgan, White Shoes and The Couples Company, juga pernah hadir untuk sebuah event karya mahasiswa IPB. Sayangnya, menurut kabar yang saya dengar, karena menghadirkan artis senior yang argonya tidak murah, kas panitia jebol. Nah, sekarang kita ketemu satu lagi kemungkinan penyebab kenapa di IPB ga ada acara gede: dana. Subsidi dari rektorat mungkin terlalu minim, aktivitas pencarian dana ga bisa maksimal karena alasan yang sudah disebut diatas, akses ke IPB Darmaga (yang diusulkan Jaki buat jadi Woodstock-nya Indonesia) yang ga gampang karena sering macet, atau mungkin di IPB ga ada mahasiswa yang mau mengorbankan mobilnya digadaikan (saya dengar, panitia sebuah event musik kampus gede, ketuanya sampe harus berkorban sedemikian besar [mungkin menurut dia kecil] biar acaranya sukses).
IPB mungkin terlihat sepi dari luar. Tapi kalau kita menelisik lagi ke dalam kehidupan kampus, kegiatan seni kecil yang rutin, masih hidup hingga saat ini. Saya yakin, FMF pernah melalui fase ini sebelum akhirnya menelurkan event-event keren diatas. MAX!! juga terpaut dalam hubungan perkawanan dengan organisasi musik APRES! dari ITB, Komunitas Musik Fikom (KMF) di UNPAD, juga BSO band dari UI. MAX!! tentu akan sangat senang jika punya sambungan silaturahmi juga dengan FMF di UGM. Di tahun 2010, MAX!! pernah bermimpi menggagas forum yang menyatukan semua organisasi musik mahasiswa di seluruh universitas di Indonesia, agar pergerakan mahasiswa tak hanya identik dengan demonstrasi, tapi juga dengan karya musikal. Tentu juga agar kampus yang belum punya ikon di dunia apresiasi seni, bisa sama-sama belajar. Semoga mimpi utopis itu perlahan tampak tegas seiring saling tersambungnya simpul komunikasi antar pegiat seni kampus.
Saya berharap sejawat pejuang seni di IPB meneruskan iklim kampus yang kini ramai dengan dengung ampilfier. Perkaya aksi musikal itu dengan nilai (sayang rasanya jika musik hanya digunakan sebagai alat untuk menyatakan keakuan). Dukung terus musisi asal IPB—dengan mengapresiasi karya musik mereka yang diantaranya sudah tersalur lewat album kompilasi— sampai nanti ada yang namanya seharum Melbi misalnya. Lalu biarkan dia jadi tuan rumah di kampus sendiri dan menjaga siklus kreatifitas agar tetap berputar.
Rheza Ardiansyah
Alumni IPB
General Manager Music Agriculture X-pression!! (MAX!!) 2010
saya sangat appreciate terhadap tulisan ini kang reza. Saya hanya mahasiswa biasa, mungkin juga saya termasuk mahasiswa yang study oriented. Tapi yang saya tahu di fakultas saya (FKH) ada satu komunitas yang aktif mengadakan acara apresiasi seni. saya telah bebrapa kali menulis tentang komunitas ini di blog saya
BalasHapushttp://asudomo.wordpress.com/2011/12/21/afc-2011-afternoon-full-colour-fkh-ipb/
thx gung komennya.sori lupa nyebutin klub2 seni di fakultas. selain steril di fkh, setau gw juga ada barakuda di FPIK, meskipun gw belum pernah denger/datang ke acara mereka. tertutup buat FPIK doang mungkin. di diploma juga ada klup yg suka hobi gambar, klub paduan suara, dll. thx udah ngingetin. nice blogpost anyway :)
BalasHapus