Pantai Namalatu di Pulau Ambon mempertemukan saya dengan dua orang anak. Dari keduanya, terungkap kisah tentang sebuah pulau paling terpencil di Maluku.
Laguna, matahari tenggelam, debur ombak, ikan hias bergaris kuning. Itulah yang saya dapat dari Pantai Namalatu pada suatu hari. Tempat wisata itu sebenarnya tidak menyediakan fasilitas yang sempurna. Gerbang masuk ala kadarnya, dengan pos satpam yang dicat lusuh di sana-sini temboknya. Begitu masuk, seorang petugas tak berseragam menagih tiket. Cukup empat ribu rupiah per orang, tanpa bukti pembayaran. Mobil terparkir, pandangan menyeluruh ke kawasan pantai di Desa Latuhalat, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon itu pun terlihat. Sekelompok remaja menyanyi beriring gitar di tempat duduk berbahan beton yang bopeng. Tak jauh dari tempat mereka ada, toilet dan ruang ganti terlihat tak terawat. Meski hanya beberapa yang berfungsi karena pintunya rusak, dua fasilitas tadi tetap terkesan bersih. Saya dan tiga teman lainnya kemudian memilih satu tempat duduk terbaik: meja yang betonnya utuh meski ada bekas tumpahan sesuatu. Kursi beton yang menghadap ke lautan masih berbentuk meski tak berwarna lagi. Kursi beton lain yang ada di hadapannya, tergolek tak bisa dibuat berdiri. Matahari masih terik, kami menunggu setengah jam hingga ia benar-benar condong dari barat. Setelah wudu di laut dan solat di sebuah restoran yang tidak beroperasi (tidak ada musola di sana), saya baru kemudian turun ke laguna dengan kostum renang.
Laguna atau bagian pantai yang ombaknya dibendung di bagian muka adalah jantung tempat wisata ini. Banyak wisatawan bermain ombak kecil di satu bagian bibir pantai. Beberapa wisatawan asing memilih berjemur di dekat situ. Hal pertama yang menarik saya begitu seluruh tubuh basah, adalah tembok penahan ombak di muka si pantai. Banyak remaja Ambon memilih tempat itu sebagai pijakan sebelum melompat ke bagian laguna yang lebih dalam. Saya terpancing menuju mereka dan menirunya. Haha. Semua terjadi begitu spontan ketika akhirnya saya menghempaskan diri dari tembok setinggi dua meter dari permukaan air itu. Begitu melompat dari atasnya, sadarlah saya bahwa kedalaman air tidak begitu menenggelamkan. Saya masih bisa jinjit di bagian yang jadi landasan itu. Pada kesempatan berikutnya saya tak berani mengulang yang tadi. Haha. Di antara sejumlah anak berperawakan khas orang Maluku itu, ada dua orang anak bernama Ens dan Ona. Kami baru menyebut nama di akhir pertemuan, setelah selama pelesiran itu menikmati Namalatu bersama-sama.
Ens dan Ona adalah dua orang saudara. Mereka berdua berasal dari Pulau Moa, pulau di Kabupaten Maluku Barat Daya. Ia lebih dekat dengan pulau Timor. Butuh waktu berhari-hari dengan kapal laut untuk menuju Pulau Ambon ini dari sana. Di Pualu Moa masih ada hutan lebat. Ens yang berusia sekitar 8 tahun mengisahkannya kepada saya. Dia bilang, ayahnya bos perusahaan kayu, ibunya bos perusahaan kutek. Awalnya saya pikir dia anak polisi. Soalnya ketika bilang bahwa saya wartawan, dia tanya bagaimana cara melamar kerja menjadi wartawan. Ketika saya bilang dengan menyerahkan ijazah, dia malah cerita bahwa untuk jadi polisi harus pakai surat pemeriksaan. Bagaimana bisa seorang anak tukang kayu mengenal kata “surat pemeriksaan” di usianya yang begitu hijau.
Ens sebenarnya nama panggilan. Pun begitu dengan Ona kakaknya. Saya lupa nama panjang kedua anak itu. Tapi itu membuktikan sebuah fenomena: orang Maluku tidak suka orang memanggil mereka dengan nama depan yang lengkap. Itu terkesan tidak sopan. Hehe. Aneh juga. Makanya mereka menggunakan nama panggilan yang dikutip dari nama panjang. Ens adalah singkatan dari tiga nama depan si anak lelaki itu. Nama Ona pun demikian. Tapi saya ingat nama depan Ona: Linda.
Pulau Moa yang mereka tinggali, masih dikenal kental dengan ilmu hitam. Itu kata pengemudi yang mobilnya kami sewa selama berada di Ambon. Daerahnya yang masih memiliki hutan lebat dilengkapi dengan karakter lanskap lain berupa daerah tandus berkarang. Ada juga sebuah bukit bernama gunung kerbau. Disebut demikian karena memang banyak kerbau liar di sana. Beberapa kerbau besar itu dibawa dari Moa dengan ongkos pembelian 3 juta rupiah. Mereka lalu dijual di Tana Toraja Sulawesi Selatan dengan harga yang berkali lipat untuk keperluan adat, bahkan hingga ratusan juta rupiah. Ternyata, kurang dari satu bulan, kerbau-kerbau itu mati karena habitat yang mereka tempati tidak cocok dengan daerah asalnya. Selain kerbau, yang juga bisa dijual dari Pulau Moa adalah kayu besi atau kayu ulin. Ternyata kayu yang terkenal kokoh itu tak hanya ada di Kalimantan. Per kubik kayu bahan kusen itu, di Ambon bisa dibanderol dengan harga mencapai 7 juta rupiah. Di sebuah situs penjual kayu, saya lihat harganya bisa jadi 10 juta rupiah per kubik.
Ens dan Ona tidak canggung ketika bertemu orang asing macam saya. Mereka mengajak kami menikmati Pantai Namalatu dengan berbagai cara. Dari membiarkan diri ditabrak deburan ombak yang dipecah tembok penahan, hingga berenang gaya punggung membentuk garis yang memotong laguna. Suasana cair serupa ditunjukan pula oleh anak-anak Maluku lain yang saya aja berinteraksi. Bahkan di akhir aktivitas kami, saya dilempari pasir oleh mereka yang entah siapa. Perang pasir putih halus pun tak terhindarkan. Meski tak silih mengenal, kami berkomunikasi dengan satu bahasa yang sama: bahasa tawa. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar