Ini malam minggu. Malam terakhir saya berada di pulau ambon. Banyak orang bilang, ketika berada di sini, saya wajib mampir ke Walang Kopi Sibu-Sibu. Baru malam inilah, saran itu saya tunaikan.
Sebuah ruang terbuka seluas sekitar 10 x 15 meter persegi saya masuki. Padat sekali. Celah antar meja sempit. Pantas saja kedai ini bernama walang kopi. Walang dalam bahasa setempat berarti rumah kecil. Di sana, rupanya yang hadir tak hanya orang maluku. Beberapa wajah eropa tak sedikit juga terlihat. Sebuah meja kecil berkursi dua saya tuju dan duduki. Tak ada yang menghampiri, kasir pun saya datangi. Seorang perempuan meminta saya duduk dan membawa daftar menu. Saya turuti seraya memilih makanan dan minuman di kursi tadi. Angin yang bertiup dari kipas, bertubi-tubi menimpa dari atas. Ini baru sibu-sibu, sepoi-sepoi.
PAndangan saya melingkar. Dari sisi kiri, bagian depan, ke dinding kanan. Ketiga muka di dalam kedai penuh dengan bingkai. Di dalamnya sejumlah wajah memamerkan senyum. Dari penyanyi BelAnda Monica Akihary (saya menoton konsernya di Bogor 6 tahun lalu), Sharita Sopacua si Miss Netherland Universe 2005 (senyum simetrisnya tak bosan saya pelototi), pemusik di grup Vengaboys: Donny Latupeirissa (saya baru tahu ada personilnya yang orang ambon), hingga nama-nama yang saya yakin Anda sudah sering dengar, macam Daniel Sahuleka, Jopie Lattul, Broery Pesolima, Bob Tutupoli, Ronny Patinasarani, Ray Sahetapy. Nama-nama tersebut, saya comot secara acak sekadar sebagai contoh. Menyaksikan wajah dan nama-nama itu, kesan saya tentang orang ambon semakin kuat: dorang memang basudara (mereka betul-betul bersaudara).Sebuah ruang terbuka seluas sekitar 10 x 15 meter persegi saya masuki. Padat sekali. Celah antar meja sempit. Pantas saja kedai ini bernama walang kopi. Walang dalam bahasa setempat berarti rumah kecil. Di sana, rupanya yang hadir tak hanya orang maluku. Beberapa wajah eropa tak sedikit juga terlihat. Sebuah meja kecil berkursi dua saya tuju dan duduki. Tak ada yang menghampiri, kasir pun saya datangi. Seorang perempuan meminta saya duduk dan membawa daftar menu. Saya turuti seraya memilih makanan dan minuman di kursi tadi. Angin yang bertiup dari kipas, bertubi-tubi menimpa dari atas. Ini baru sibu-sibu, sepoi-sepoi.
Perhatian saya kemudian tertuju ke kerumunan yang semakin menyemut di hadapan meja. Nyanyian yang beriring organ tunggal semakin lantang didendangkan. Mulanya tiga orang, lalu bertambah satu. Seorang lain menghampiri. Makin ramailah suasana malam itu. Bahkan tak hanya dari pojong ruangan yang disulap jadi panggung kecil itu, tapi juga dari seberangnya. Ajaibnya, pengunjung berperawakan orang eropa pun turut menyanyikan lagu khas ambon itu.
Gandong, demikian si lagu bernama. Liriknya berisi pesan persaudaraan. Gandong berarti saudara. Kedekatan atas asal usul ikatan darah. Orang ambon sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat mereka. Bahkan struktur pemerintahan setara desa, terorganisasi dalam suatu susunan bernama negeri, yang dipimpin seorang Bapa Raja. Selain adat dalam tata masyarakat, aturan bertingkah laku juga dijaga dengan baik oleh para nyong ambon. Rumpun masyarakat yang terikat dalam satu gandong, tidak bisa menyatukan diri. Ibaratnya, dua negeri memiliki pela gandong masing-masing, artinya saling bersaudara. Contoh, Batumerah yang berpela gandong dengan Passo. Saking rekatnya, penduduk dari kedua negeri tersebut tidak bisa menikah, karena dianggap satu saudara. Pela gandong, di sisi lain juga membuat suasana panas di ambon dan maluku, kian menghangat. Kala mengingat pela gandong, kedua negeri yang mayoritas warganya saling berlainan agama, menjadi rukun. Semangat kerukunan dan persaudaraan itulah, yang saya saksikan dalam lagu gandong.
Usai gandong tandas dinyanyikan, seorang pengunjung lain bergantian jadi juru vokal. Ia menyanyikan lagu Piring Tatoki. Judul itu bermakna piring yang saling berdenting. Itu makna kiasan untuk sebuah konflik antar dua kelompok. Bila kedua bersaudara bertengkar, itu bagaikan piring yang saling menyinggung. Lagi-lagi, udara di dalam sibu-sibu dipadati semangat persaudaraan dari lagu-lagu tadi. Bahkan kini lebih meriah. Seorang pengunjung bule menari dipandu penyanyi kedai. Keluarga atau mungkin kawan-kawannya teriak menyemangati. Meriah sekali. "Mantaaaap!" seseorang di samping saya berseru. Seorang kulit putih, lirih saya menyadari. Saya takjub dengan pelafalannya yang fasih. Tapi saya tidak heran, karena memang tak sedikit orang ambon yang juga tinggal dan meneruskan jalan hidup di daratan eropa sana, di negeri kincir angin Belnda.
Pikiran saya melayang hingga tahun 1500an, ketika pengelana dari eropa pertama kali tiba di kepulauan Maluku. Mereka kemudian sempat menduduki nusantara dengan misi kolonialisasi. Singkat cerita, Indonesia kemudian merdeka. Sang republik yang masih muda, dilanda berbagai eksperimentasi bentuk pemerintahan, misalnya berupa Republik Indonesia Serikat, negara besar yang terbentuk dari negara-negara bagian, salah satunya, Republik Maluku Selatan (RMS). Setelah bentuk tersebut akhirnya mewujud menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, RMS menjadi gerakan pemberontakan. Setelah ditumpas pada tahun 1952, beberapa punggawa gerakan separatis itu hijrah ke Belanda, negara yang disebut-sebut mensponsori RMS untuk kepentingan penguasaan. Di antara mereka kemudian beranak-pinak di sana, seraya tak lupa bahwa dari kepulauan rempah inilah mereka berasal. Terlebih ada tradisi natal sedunia. Ya, natal memang sedunia tiap tanggal 25 Desember. Tapi bagi orang-orang dari negeri adat di pulau ambon, natal sedunia ini berarti bahwa semua perantau di seluruh dunia yang berasal dari suatu desa adat, bisa pulang ke tempat asal. Pesta jogetnya bisa berhari-hari. Duduk tepat seminggu sebelum natal, saya makin tak heran dengan kehadiran para perantau jauh ini.
Yang namanya kedai kopi, tentu jualan utamanya sang cairan pusaka itu. Ada banyak macam kopi yang ditulis dalam daftar menu. Saya pilih kopi rarobang. Kata rarobang yang disandang kopi itu, bermakna filtrat, atau zat (dalam hal ini cairan) yang tidak mengendap. Kata seorang pramusaji, itu kopi khas sibu-sibu. Tak ada di tempat lain. Kopi rarobang yang saya pesan dicampuri jahe, susu dan taburan rempah. Saya jadi ingat komentar seorang kawan: Beng Rahadian, komikus plus penggila kopi itu. Katanya kopi yang dicampur susu maupun krimer tidak jelas jenis kelaminnya. Kalau ditambahkan dua hal lumrah itu saja dia sudah bilang kopi menjadi androgini, apalagi ditambah banyak campuran ini. Haha. Tapi tak mengapa, justru di campuran itulah uniknya kopi di pulau ambon. Bayangkan, rasa dominan di lidah justru sensasi hangatnya di tenggorokan, yang bukan dihasilkan kopi. Lalu rasakan taburan buah palanya itu. Kalau pernah menikmati guraka di maluku utara, sensasi rasa Anda akan terlempar ke sana. Guraka sebenarnya sari jahe, tanpa kopi. Tapi memang beberapa orang sebut itu "kopi guraka". Ia nikmat disesap dengan diselingi pisang yang digoreng tipis lalu diolesi sambal dabu-dabu, sambal yang didominasi irisan cabe segar. Menu terakhir itu tak ada di kedai sibu-sibu. Sebenarnya ada pilihan menu kue-kue berbahan dasar sagu, tapi saya memesan roti yang dilapisi telur dadar sebagai pendamping kopi tadi.
Tiba-tiba ada teriakan dari arah jalan. Suara anak kecil riuh memekik. Semua orang menengok ke sumber suara. Rupanya sebuah mobil angkot dipenuhi anak-anak. Beberapa pengunjung menghambur ke jalan lalu berhenti di pintu angkot. Mereka membalas lambaian tangan anak-anak dari dalam angkot itu, seraya membalas senyum puas dari dalam sana. Anak-anak yang sebagian berkulit putih itu begitu riang melepas tawa. Si mobil sampai bergoyang-goyang naik turun. Tak lama kemudian para tetuanya turut masuk dan bergabung. Si angkot pun melenggang, dengan posisi melonjak-lonjaknya bak melaju di atas kasur. Melihat saya mengarahkan kamera video, seorang bule melambai dengan sunggingan senyum lebar.
Selepas mobil angkot ria itu melintas, beberapa kursi di dalam kedai tak lagi diduduki. "Bale bantal, bale bantal!" seseorang berteriak dari belakang saya. Satu persatu pernyanyi berganti. Sebelum Kedai Sibu-Sibu tutup pada jam 22.30, saya bayar semua pesanan malam itu. Ada lembar uang tambahan yang saya keluarkan. Itu ongkos untuk memiliki sekeping cakram padat album jazz instrumental gubahan Nicky Manuputty and The Dodz. Deretan lagu dominan saxofon itu pasti akan selalu mengingatkan ke tanah Ambon, ketika saya tak lagi di sana. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar