Jumat, 25 Desember 2015

Tentang Burung Maleo dan Pantai Indah di Morowali Utara



Sore di Pantai Uewajo

Adalah sebuah hari di akhir September lalu. Sore itu langit cerah, ombak berdesir lembut. Saya ada di Kabupaten Morowali Utara, di Sulawesi Tengah. Pinggiran pantai desa Uewajo itu saya susuri, sambil berlari. Beratus meter kemudian saya melewati sebuah lapangan sepak bola. Suara dari megafon lantang terdengar. Komentator bukannya memberi nilai terhadap pertandingan, tapi mendeskripsikan kejadian di lapangan. Rupanya pertandingan itu disiarkan langsung melalui radio setempat.

Langkah saya tak berhenti melintangi garis pantai. Tiga orang anak perempuan kemudian menyapa. Mereka Putri, Sofi dan Nita, anak-anak SD yang saya kunjungi sewaktu liputan sehari sebelumnya. Di sekolah mereka, saya turut mengikuti kegiatan penyuluhan tentang pentingnya pelestarian burung maleo. Ada sebuah pantai bernama Tanjung Peo, yang sering didatangi burung endemik Sulawesi itu. Kisah tentang burung maleo yang terancam punah itu memang tujuan utama kedatangan saya dari pulau Jawa.

Tiga anak perempuan tadi mengiringi saya berlari. Bahkan sampai ujung. Hingga hamparan pasir terpotong muara sungai kecil berair bening. Saya ambil jeda, melepas sepatu dan bertanya ke tiga anak tadi. Hal standar yang saya tanyakan ketika bertemu anak-anak adalah tentang cita-cita. Putri ingin jadi polwan, Sofi mau jadi guru, dan Nita bercita-cita jadi dokter. Putri dan Sofi menjawab antusias ketika saya pancing perbincangan tentang ibu kota negara kita. Nita masih terlalu pemalu untuk bicara blak-blakan ke orang asing. Berbeda dengan anak berkerudung itu, Putri dan Sofi bahkan tak canggung minta diantar pulang dengan mobil liputan yang kami pakai tadi siang.

Obrolan kami terpotong ketika dua orang anak yang lebih kecil menghampiri. Mereka Fatur dan Dita. Keduanya tertegun menatap sungai, lalu membuka alas kaki dan melinting baju. Permukaan air mulai pasang. Saya yakin ketika mereka menyeberang beberapa waktu sebelumnya, tinggi air tak semenyusahkan mereka saat itu. Saya kemudian menawarkan bantuan: menggendong mereka sampai ke ujung. Fatur yang lebih kecil saya pangku sementara Dita yang sepertinya kakaknya, digendong. Cukup berat mengangkut mereka melewati air setinggi lutut. Saya suruh Fatur yang berusia sekitar 3 tahun untuk berhitung. Di bilangan kedua puluh (dia sempat salah hitung), keduanya saya turunkan. Mereka tiba di seberang, lalu berlari menuju rumah. Demikian pula dengan Putri, Sofi dan Nita. Usai mereka bubar, saya lari sendiri ke arah penginapan, tetap melintasi pinggiran batas ombak.

Ketika melewati lagi lapangan bola, ada sebuah pertandingan kecil tepat di tepian pantai. Para remaja bercelana jins yang punya acara. Saya pun minta izin bergabung, dan disetujui. Maka sisa sore itu saya lalui bersama tawa, lambungan bola sepak, cipratan air laut, hamburan pasir. Pertandingan berakhir. Sore masih tersisa. Pandangan saya lempar ke lautan jauh. Di sebuah titik, perlahan bara api kilang tiaka mulai tampak. Tapi yang paling membuat saya terpaku saat itu adalah paduan warna langit dan air laut yang saling berhadapan dan melengkapi. Sulit untuk memamerkannya kepada Anda, karena saya tak paham nama warna yang spesifik, dan sengaja tak membawa kamera. Yang jelas, saat itu laut berwarna pink. Atau ungu muda. Atau gabungan keduanya. Langit yang tampak di atas garis cakrawala berwarna gradasi tak kalah cantik. Semburat matahari yang jingga pucat, berganti menjadi biru di bagian atas. Saya menyesal tidak sempat berenang di tepian dermaga dekat penginapan sore itu.

Keindahan alam Morowali Utara itu akan lebih sempurna jika habitat burung maleo yang tak jauh dari sana, tetap terjaga. Dalam tugas liputan itu, sayangnya saya menemukan sebuah ancaman.

Burung Maleo

Kapal laut bermotor tunggal itu semula harus melewati rimbunan pohon nipah. Di antara pepohonan serupa kelapa itu saya melaju pelan. Tim liputan Metro TV, perwakilan perusahaan dan peneliti dari Universitas Tompotika meluncur di atas permukaan air yang dasarnya jelas terlihat. Tak lama kemudian, si pohon bertulang daun sejajar itu berhenti mengepung. Kami melaju di sungai yang lebar. Mesin dinyalakan, laju perahu dipercepat.

Sekitar satu jam kemudian ujung perahu menancap ke pasir tepian pantai cagar alam Morowali Utara. Sebuah papan nama menyambut kami. Di sana tertulis pula sepetik pasal tentang larangan merusak ekosistem lingkungan dan mengganggu satwa di dalamnya. Peringatan itu perlu dipampang karena di sini hidup spesies burung yang cuma ada di pulau Sulawesi: burung maleo.

Kami langsung bergegas menuju sebuah semak. Tempat itu sempurna jadi persembunyian. Kamera terpasang, lensa memanjang. Edy Pras, Yudhi dan Roby bergantian membidik melalui senjata mereka. Dua nama terakhir adalah videographer yang turut serta dalam tugas peliputan ini, sementara Edy Pras adalah kamerawan cum produser senior Metro TV. Yudhi memasang telunjuk di depan mulutnya yang mencondong. Dia ingatkan saya untuk berjalan mengendap. Ia kemudian menyerahkan kemeja hijau tuanya. Setelah kaos lengan panjang merah tertutupi, saya gabung mengintip para burung maleo.

Pagi itu setidaknya 15 pasang burung maleo keluar dari rimbunan hutan. Mereka menggali pasir, lalu masuk ke dalam cekungan. Burung maleo menggunakan pasir pantai untuk mengerami telur. Di dalam gundukan pasir, mereka hanya menyimpan satu butir telur sebesar sekitar 6 kali ukuran telur ayam. Karena itulah salah satunya, tingkat reproduksi burung maleo rendah, dan terancam punah. Telur itu lalu ditinggalkan. Dua hingga tiga bulan berikutnya, telur ini akan menetas, hingga kemudian seekor anak maleo bangkit dari tempatnya dikubur.

Namun kisah ideal itu tak selalu terwujud. Di tempat yang saya temui, ada pemangsa telur burung maleo yang mengancam kelestarian mereka: manusia. Seorang bapak menghampiri saya dan tim yang sedang beristirahat di bawah sebuah pohon. Saya dekati dia seraya kamera dalam posisi merekam. Sepaket pertanyaan terlontar.

Meski mengakui bahwa ia menjual telur-telurnya, bapak ini dinobatkan sebagai duta pelestarian burung maleo oleh perusahaan energi yang beroperasi tak jauh dari sana. Dalam sebuah video yang menampilkan semacam laporan CSR, sang pencoleng telur dikesankan sebagai penjaga sejati Tanjung Peo. Nyatanya, jauh dari demikian. Sore itu saya dan tim memantau dari sebuah menara di seberang Tanjung Peo. Sebuah perahu tertambat di dekat peteluran maleo. Matahari tenggelam. Langit membiru tua.

Kami bergegas pulang, demikian pula dengan bapak itu. Ketika ia mendahului, saya melihat di bagian depan perahu berpenumpang satu itu, ada kotak yang ditutupi baju. Nahkoda kapal saya berujar, itulah telur yang ia curi. Sang nahkoda tak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya kepada si pencuri telur. Semua orang nampak membencinya. Berulang kali ditegur, tak berubah. Sekian kali dilaporkan, tak ada tindakan. Dalam sebuah pelamunan, saya pesimis dengan kelestarian habitat burung maleo itu. Kecuali kalau aksi jahat si pencuri telur dihentikan, dan mimpi kepala desa menjadikan Tanjung Peo tempat wisata ekologis jadi kenyataan. []






















































Tidak ada komentar:

Posting Komentar