Ini foto tim serbu api saat berusaha menyampaikan solusi ke presiden tentang penjagaan lahan & pemadaman api di lahan gambut. Saksikan kisah mereka nanti malam jam 21.05 di program 360 metro tv |
Rangkuman kisah menyebalkan tentang mengapa dua wartawan tidak saling berkomunikasi untuk mengantarkan presiden kepada relawan yang dicarinya. Sementara para relawan juga ingin bertemu presiden mereka
Sisi Relawan
Sirine meraung sedari jauh. Deretan kendaraan mengular beriringan. Hari itu, presiden berkunjung ke Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah. Di kilometer tiga puluh, sekelompok orang berkerumun di tepian jalan. "Kalau pak presiden mampir kesini kira2 bakal seperti apa situasinya?" Saya bertanya. "Kalau beliau masuk sini ya mungkin pemikiran beliau akan berbeda, instruksinya juga lebih ke sifatnya yang merakyat dan melibatkan banyak pihak untuk bisa terlibat. Karena kalau dia kanal, masyarakat kan nggak bisa berbuat apa-apa. Tapi kalau kegiatan sumur bor masyarakat kecil pun yang memiliki lahan kecil juga bisa menjaga lahannya supaya tidak terbakar." Januminro Busal menjelaskan panjang lebar.
Pria yang biasa dpanggil Janu itu adalah pemilih puluhan lahan di Kabupaten Pulang Pisau. Sementara lahan dan hutan di sekitarnya terbakar, wilayah milik Janu tetap sehat. Contohnya area yang ada di kilometer 30 tadi. Bahkan Janu punya istilah sendiri untuk kawasannya yang satu itu: jumpun pambelom, yang artinya hutan sumber kehidupan. Di jumpun pambelom, kehidupan asli hutan sekunder memang terjaga lestari. Berbagai jenis tanaman tetap tumbuh. Dari pasak bumi hingga pohon ulin. Jumpun pambelom juga menjadi area pelarian orangutan setelah mereka terpojok karena habitat aslinya terbakar atau dibakar. Di sebuah bagian hutan, terlihat jelas batas dampak yang timbul akibat bencana kebakaran lahan. Satu sisi, tumbuhannya berwarna coklat bercampur jelaga hitam, sementara di sisi lain, hijau pepohonan masih bertahan. Apa rahasianya? Rupanya ia sumur bor.
Sumur bor yang dikembangkan Janu, berfungsi sebagai hidran hutan. Terhubung ke permukaan dengan sebuah pipa, air dari kedalaman 20an meter selalu siap untuk dimuntahkan. Zat pembasah itu nantinya bisa dipakai untuk menyemprot langsung kobaran api, atau pun membasahi parit alias kanal pemutus rambatan api. Pembuatan sumur bor dilakukan oleh para relawan. Meski diinisiasi oleh warga setempat, relawan yang kemudian bernama tim serbu api itu berasal dari berbagai daerah. Saya menemui seorang yang berasal dari Banjarmasin. Kala itu ia sedang membangun sumur bor bersama relawan dari Bandung. Kali lain saya mewawancarai relawan lain dari Bogor. Kisah tentang mereka memang dramatik dan heroik. Daurie Bintang, relawan yang jadi narasumber saya, berkisah panjang lebar tentang betapa ia dan sejawatnya musti melawan banyak hal: panasnya kobaran api, serangga penggangu, hingga laku picik pembakar lahan. Atas kerja bersama itulah, 72 sumur bor telah dibangun untuk melindungi 2000 hektar lahan. Janu dan Daurie kemudian hakul yakin, jika TNI dan aparat pemerintah lain dilibatkan, akan ada lebih banyak sumur bor yang berfungsi mencegah sekaligus menjinakkan kebakaran lahan. Hingga kemudian, presiden berkunjung ke Pulang Pisau. Mereka ingin menyampaikan langsung ke pemimpin negara, bahwa sistem sekat kanal kurang ampuh tanpa sumur bor yang telah mereka kembangkan.
Setelah rombongan presiden melintas ke arah Tumbang Nusa, mereka punya satu kesempatan terakhir: mencegat presiden saat rombongannya mengarah ke bandara. Kala pusaka itu kemudian tiba. Spanduk telah sedia terbentang. Selang pemadam api beratraksi bak air mancur, berusaha menarik perhatian. Dari sayup hingga nyata, suara sirine terdengar. Satu per satu mobil melintas, hingga sebuah sedan ber-plat Indonesia-1 melaju. Penumpang di baris belakangnya terlihat beranjak dari jok. Itulah Presiden Jokowi. Mobil itu kemudian melambat. Sayang, tak ada yang berinisiatif mengejar. Saya sendiri ragu. Sebagai peliput, peran saya hanya memfigura mereka. Jika jadinya saya yang mengejar mobil presiden yang melambat dan memastikannya berhenti, akan terlihat aneh di depan kamera yang sedari tadi merekam. Sayangnya, rombongan itu akhirnya berlalu. Mimpi relawan untuk menyampaikan aspirasi pemadaman api, otomatis pupus. Pak Janu menunduk lesu. Pundaknya melorot. Meski telah menyampaikan ide tentang sumur ke menteri kehutanan dan lingkungan hidup, rupanya ia belum puas untuk menyampaikan idenya langsung ke sang pengambil keputusan tertinggi negara ini. Ikhtiar Pak Janu wajar, karena hingga kini, bantuan dari kementerian itu baru sebatas sekian puluh titik sumur bor. Akhirnya, mimpi membuat ratusan sumur bor lain, mesti bergantung lagi ke pundak relawan.
Sisi Kepresidenan
Pesawat kepresidenan mendarat di bandara Tjilik Riwut Palangkaraya. Dua hari belakangan lapangan terbang itu baru beroperasi lagi setelah beberapa hari berurutan, hujan menghapus kabut asap yang membuat penerbangan langsung ke ibu kota Kalimantan Tengah itu mustahil dilakukan. Turun dari burung besi yang sebelumnya membawa saya ke Amerika (bersama presiden tentunya), saya langsung menuju mobil yang disediakan khusus bagi rombongan presiden. Saya ikut serta, sebagai pewarta. Pertama, sebuah sekolah dasar jadi lokasi kunjungan. Anak-anak SD itu kembali ke kelas mereka setelah lebih dari sebulan belajar di rumah. Sementara siswa di daerah lain bersiap menghadapi UTS, mereka akan melewatkannya. Bencana kabut asap tidak membuat tes itu bisa digelar. Bagaimana mungkin setelah libur 35 hari, begitu masuk langsung ujian?
Kunjungan presiden berikutnya, adalah sepetak luas lahan gambut yang sebelumnya pernah ditinjau sang kepala negara. Lokasinya ada di dekat sebuah jembatan panjang yang membentang 12 kilometer. Presiden Jokowi meninjau pembuatan kanal bersekat yang nantinya berguna untuk menyetop penyebaran kebakaran di lahan gambut. Puluhan menit berlalu, rombongan kami kembali ke arah berlawanan, hendak pulang. Di perjalanan, laju rombongan kendaraan melambat. Tak ada reaksi aneh di dalam mobil yang saya tumpangi. Suasana di kanan jalan juga lengang-lengang saja. Perjalanan berlanjut.
Kilometer berlanjut, menit berlalu, telepon berdering. Ajudan presiden. "Itu tadi temen Metro TV yang sama relawan itu siapa? Pak Jokowi mau ketemu, tadi mau turun tapi ragu-ragu".
"Coba saya tanya teman kontri di sini ya," jawab saya yang tak tahu harus jawab dengan nama siapa. Di sisi lain telepon, kontributor Metro TV Palangkaraya mengiyakan bahwa itu kamerawannya. Padahal beberapa hari kemudian barulah saya tahu, itu bukan kru kontributor. Nomor sang kontributor kemudian saya setor ke si asisten pribadi presiden, plus meme tentang relawan yang menyediakan rekening khusus untuk para donatur menyumbang. Presiden memang sebenarnya berniat untuk menemui para relawan pemadam kebakaran. Sang asisten pribadi, bahkan berusaha mencari-cari kontak kelompok itu di internet. Sayangnya, entah mengapa, pertemuan itu tidak terwujud. Perjalanan berlanjut. Rombongan presiden kembali ke ibu kota. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar