Minggu, 22 November 2015

Orang Desa Memandang Hidupnya

Mang Ipin sedang membetulkan jalan untuk lintasan pengojek
Tiga hari terakhir saya meliput kisah tentang Mang Ipin. Nama aslinya Pipin Suryana. Ia menerima hadiah kalpataru pada 2014 lalu. Itu penghargaan prestisius. Kalpataru diberikan kepada mereka yang berjasa terhadap lingkungan hidup. Jasa terhadap lingkungan itulah yang jadi kisah utama peliputan saya tentang Mang Ipin. Kakek dua cucu itu sempat menolak menerima penghargaan tadi karena dirinya merasa tidak layak. Saya kemudian menyelami alam pikirannya lebih dalam.

Pagi itu saya tiba di kampung Pasir Sereh Desa Sirnajaya Kecamatan Cisurupan Kabupaten Garut. Kala mobil berhenti di depan rumah yang terletak di pinggir jalan menanjak, seseorang memberi tanda dari bagian atas jalan. Ternyata Mang Ipin sudah di sana, di sebuah rangkaian pipa yang mengalirkan air ke berbagai ujung selang. Katanya ia sedang mengatur agar volume air yang tiba di musola dan rumah warga seimbang. Kesan pertama itu membersitkan sebuah simpulan di benak saya: Mang Ipin sangat penderma.

Obrolan kami berlanjut di sepanjang jalan menuju kebun yang ia kelola. Lebih dari tiga kilometer jalan berbatu yang dilapisi aspal tipis kami lalui. Di beberapa bagian jalan, Mang Ipin menunjukkan sejumlah pepohonan. Dari pohon bambu, pohon alpukat, pohon nangka, hingga pohon berkayu lain macam suren dan kibadak. Pohon-pohon itu, sengaja di ditanam Mang Ipin. Entah di lahan milik siapa. 

Bunga teratai mekar di sebuah kolam kecil di depan rumah Mang Ipin
Ternyata, yang memotivasi Mang Ipin melakukan itu adalah nasihat sang ibu. Kala ia masih belia, Mang Ipin ditunjukkan kepada peristiwa longsor di daerah dekat tempat ia tinggal. Sang ibu mengajarkan bahwa bencana itu terjadi akibat penggundulan hutan. Tak ingin kejadian serupa terulang, Mang Ipin kecil mulai rajin menanam pohon. Awalnya sembunyi-sembunyi, karena seperti yang ia lakukan hingga berusia kepala 5, pohon yang ia tanam berdiri di lahan yang entah milik siapa. "Yang pasti milik perhutani," katanya yakin. Dulu ia merasa takut karena khawatir petugas dari BUMN itu menilai yang dilakukannya salah. Ternyata toh aksi Mang Ipin berbuah manfaat. Maka berlanjutlah penanaman "membabi buta" itu hingga kini. Alhasil, kaki gunung papandayan yang semula jarang berpohon kayu, kini kaya dengan naungan pohon besar. Modal persemaian bibit tanaman itu, ia sisihkan dari hasil pekerjaannya sebagai pengangkut komoditas pertanian. 


Bosco berjalan di pematang situ Ciseupan. Situ ini sempat berubah fungsi menjadi lapangan karena kekeringan. Mang Ipin menginisiasi penggaliannya kembali sehingga danau itu berfungsi normal
Mang Ipin mengajak saya ke sebuah lahan. Pohon kibadak tumbuh subur hingga berdiameter batang sekitar sedepa. Di bawahnya, dedaunan yang melapuk basah menjadi lapisan tanah. Itulah yang sebenarnya diinginkan Mang Ipin dengan menanam pohon kibadak, 42 tahun lalu, kala ia berumur 12. Serasah atau lapisan atas lantai hutan itu nantinya akan menjadi penampung air dari mata air di atas gunung. Ketika musim hujan, mereka akan menahan aliran air hingga mencegah banjir. Kala kemarau tiba, kelembaban tanahnya akan menghindarkan kebakaran lahan.

Seorang pengojek dengan beban komoditas pertanian berberat hingga 2,5 kwintal melintasi jalan di bukit dekat gunung Papandayan
Aksi Mang Ipin dituruti generasi muda Desa Sirnajaya. Bahkan para pemuda meneruskan aktivitas Mang Ipin di bawah bendera komunitas rawayan. Rawayan artinya jembatan, sehingga dengan bernama demikian, komunitas ini menjadi jembatan bagi hal-hal positif yang bisa dilakukan pemuda Sirnajaya. Demikian Iman Suryana menuturkan. Sejak pertama kali didirikan pada 2007, putra kedua Mang Ipin itu menjadi komandan Komunitas Rawayan. Cita-citanya, ingin menjadikan pemuda Sirnajaya berdaya di daerah asalnya. Keinginan itu seiring dengan angan Mang Ipin.


Kolam penampung air yang menghadap Gunung Cikurai di kejauhan
Iman adalah satu di antara tiga pemuda Desa Sirnajaya yang lulusan SMA. Sisanya mengenyam pendidikan terakhir di tingkat SMP atau di bawahnya. Mang Ipin sendiri lulusan S3 dari Unpad alias lulus setelah SD kelas 3 di Universitas Papandayan. Hehe. Universitas Papandayan tentu tak pernah ada. Yang dimaksud Mang Ipin adalah, ia belajar dari alam gunung papandayan yang dekat dengan rumahnya. Ia mengaku dari dan di sanalah dirinya menuai dan menabur manfaat. Lalu akan sampai kapan keterbatasan pendidikan itu terjadi di Sirnajaya? Iman mengaku, kini keadaan berangsur lebih baik. Sudah ada anak Sirnajaya yang mengenyam bangku kuliah, seiring dengan tersedianya jalan. Iman tetap memandang bahwa warga Sirnajaya, harus bisa memanfaatkan potensi wilayahnya. "Tak perlu pergi ke kota karena kalau pergi ke kota itu budaya ikut-ikutan," katanya meyakinkan. []

Saung Mang Ipin
Benih tumbuhan di kebun yang dikelola Mang Ipin
Seorang anak menanam pohon suren
Anak-anak berenang di situ ciseupan
Bagian lain situ ciseupan menjadi arena bermain anak-anak
Wisnu mengambil video Gunung Cikuray

Tidak ada komentar:

Posting Komentar