Karena liputan ke puncak carstensz tidak bisa dilakukan akibat keterbatasan waktu, maka tim Metro TV, memaksimalkan tugas peliputan di distrik Sugapa Kabupaten Intan Jaya. Hari itu tanggal 17 Agustus, di alun-alun Sugapa, digelar upacara bendera. Tahun lalu saya meliput upacara 17 Agustus di Kabupaten Puncak, Papua. Kondisinya dibanding upacara di Intan Jaya kurang lebih sama. Selain peserta upacara, para warga yang tidak mengenakan pakaian formal, berkumpul mengelilingi lapangan. Jika pada tahun lalu saya menyaksikan demonstrasi pengamanan yang dilakukan anggota TNI dan Polri di distrik Ilaga Kabupaten Puncak, maka momen merinding tahun ini dipersembahkan oleh iring-iringan siswa dari sekolah dasar hingga SMA, yang menyemut rapi dari bukit. Barisan siswa SD tanpa alas kaki itu riuh dengan iringan lagu nasional. Seorang warga berkisah, mereka berasal dari 30 SD yang tersebar di delapan distrik di Intan Jaya. Saking jauhnya dari tepat asal, mereka harus tiba di distrik Sugapa sejak sehari sebelumnya.
Dua jam berlalu, upacara pun usai. Seorang anggota satpol PP pingsan karena kepanasan. Seekor babi melintas di tengah lapangan kala seruan bendera siap diteriakkan. Bendera pun berjarak sekian sentimeter dari pucuk tertinggi tiang. Tapi itulah Papua. Inilah Intan Jaya. Saya pun menghampiri pak bupati. Ada beberapa hal yang ingin saya konfirmasi dari pemimpin yang telah menjabat 3 tahun itu.
Dalam wawancara singkat itu, bupati Natalis Tabuni memaparkan bahwa kabupaten yang dipimpinnya adalah sebuah daerah terisolasi. Cuma pesawat terbang yang menghubungkan kabupaten yang terbentuk sejak 2009 ini dengan dengan kabupaten lain. Akibatnya, harga berbagai komoditas mahal sebagai implikasi dari tingginya biaya angkut. Untuk tiap satu kilogram muatan pesawat, ada 25.000 rupiah yang harus disisihkan. Itu pun belum termasuk ongkos pesawat itu sendiri.
Ketertinggalan yang dialami warga Intan Jaya, disesalkan sekelompok mahasiswa. Sehari sebelumnya, dua orang perwakilan mereka menghampiri kami di rumah penginapan. Mereka paparkan bahwa aka nada sebuah aksi demonstrasi hingga menutup aktivitas penerbangan di bandara. Cilaka 13! Kalau itu sampai terjadi, artinya kami tidak bisa pulang sesuai jadwal yang direncanakan. Apalagi ratusan kilometer di timur tempat kami berada, sebuah kecelakaan terjadi. Ada insiden pesawat jatuh di Kabupaten Oksibil. Sebuah SMS dikirim dari Jakarta, memerintahkan kami segera ke sana dan memberitakannya. Kalau ternyata bandara diblokir, bagaimana bisa?
Delapan belas Agustus tiba. Artinya inilah hari ketika kami harus kembali ke Timika. Pagi itu, bandara ramai. Suasana pun menghangat di ruang kendali lalu lintas udara. Seorang anggota kepolisian berdiskusi dengan petugas radio tentang izin pendaratan sebuah pesawat. Mahasiswa mengancam akan kembali menutup bandara, seperti yang mereka lakukan sehari sebelumnya. Ada empat penerbangan dari dan ke Timika dan Nabire yang kala itu batal. Saya dan tim liputan menghampiri mereka di sebuah posko. Melalui pengeras suara, mereka menjawab pertanyaan saya.
“Yang kakak tuntut ke pemerintah apa?”
“Masyarakat ini minta supaya pemerintah perlu tahu kesejahteraan social melalui masalah ekonomi. Ekonomi harus putar, sehingga masyarakat mengeluh”.
“Kakak cerita bupati tidak setiap hari ada di sini?”
“Iya, seperti itu”
“Kakak minta apa?”
“Sesuai dengan visi misi, bahwa kalau bupati berangkat, wakil tinggal. Tapi hal itu tidak terjadi”
Rupanya itulah pangkal masalahnya. Bupati Intan Jaya, dinilai jarang ada di daerah tugasnya. Ketika saya tanyakan ke Natalis Tabuni, ia memaparkan bahwa misinya ke luar daerah adalah untuk mencari investasi, karena memang Intan Jaya tidak memiliki pendapatan asli daerah atau PAD.
Tidak puas dengan jawaban bupati yang saya sampaikan ke coordinator demonstrasi, mereka tetap menggelar aksi. Kali ini, arakan massa mengarah ke kediaman bupati. Sementara itu, kondisi jalur penerbangan kian terkendali, meski seorang pilot mengaku harus berputar lima kali dulu, lalu balik lagi ke Nabire, baru mendarat di Intan Jaya.
Kami pun akhirnya bisa meninggalkan Intan Jaya. Setelah takjub melintasi rimba raya, tegang karena pesawat didekatkan ke gunung barisan demi menyaksikan puncak bersalju di kejauhan, kami akhirnya mendapat di Timika. Tim liputan Metro TV, masih punya satu kisah lain untuk dilengkapi. []
*foto demonstrasi milik Brian Media Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar