Selasa, 29 September 2015

Ekspedisi Jurnalis ke Carstensz: Suku Kamoro

Dia dipanggil Timo. Nama lengkapnya Thimotius Samin. Timo adalah tetua suku Kamoro yang tinggal di desa Iwaka Distrik Mimika Timur Kabupaten Mimika Papua. Hari ketika kami bertemu, sepertinya hari yang paling bahagia bagi dia. Meskipun di hari lain, ternyata senyuman yang sama selalu terkembang.

Alasan dibalik wajah sumringahnya ketika itu adalah rencana kunjungan dua orang menteri ke desanya. Ia mengaku melakukan persiapan yang minim karena informasi kedatangan pejabat itu mendadak. Tapi toh ketika kedua tamunya datang, penyambutan untuk mereka tidak biasa-biasa saja. Tarian yang diiringi nyanyi dan pukulan tifa mengelilingi menteri pariwisata dan menteri coordinator kemaritiman yang mengunjungi desa Iwaka. Keduanya digiring ke sebuah area tempat ukiran buatan warga suku kamoro dipajang. Dua menteri yang diiringi pejabat lain, tak bisa menyembunyikan ekspresi kagum mereka melihat ukiran itu.


Suku kamoro memang dikenal sebagai pemahat ulung. Pamornya mungkin masih kalah dengan suku asmat yang lebih dulu dikenal sebagai bangsa pengukir. Setidaknya itu yang diakui Timo. Ia awalnya heran, kenapa suku asmat justru lebih dikenal disbanding suku bangsanya yang juga memiliki keahlian serupa. Timo menjawab pertanyaan itu dengan serangkaian tindakan. Demi focus ke pelestarian budaya pahat khas suku kamoro, Timo tinggalkan jabatan kepala desa. Berbagai pameran pun ia hadiri, bahkan hingga taraf internasional. “Yah… sudah di mancanegara. Maupun di Belanda, di Jerman, di Bulgaria, di daerah timur tengah, terus di Jakarta, kami ada di Bali dan di Jakarta, kita pameran juga di Kemang, trus international pun.. di Tembagapura, di Jayapura, pesta-pesta hari ulang tahun kemerdekaan, kami diundang ke provinsi.” Ujarnya meyakinkan.

Meski perlahan-lahan karya budaya suku kamoro terus mempublikasikan diri, Timo menyesalkan absennya sebuah fasilitas penting di desa Iwaka: museum budaya papua yang sekaligus berfungsi sebagai etalase penjualan karya. Selama ini, penjualan karya mereka dibantu seorang asing bernama Kal Muller.

Sebenarnya Muller bukan nama lama di pembahasan tentang Papua. Pria berusia kepala tujuh yang lahir di Hongaria ini sudah 20 tahun lebih tinggal di Papua. Ia menjelajahi pedalaman hutannya, mendekati tokoh masyarakatnya, lalu meneliti dan menuliskan budaya mereka. Tak kurang dari 15 buku tentang papua telah ia terbitkan. Salah satunya buku tentang suku kamoro, yang ia tulis setelah 17 tahun mendalami suku bangsa di pesisir selatan pulau papua itu.

Kal memiliki sebuah galeri yang menjualkan ukiran-ukiran buatan pengrajin dari suku kamoro. Selain itu, ia juga seringkali menunjukkan kepeduliannya terhadap seni ukir, dengan menggelar lomba. “Kami ada program dimana kami coba beli ukiran dari anak muda. Yang anak muda saya mau beli tidak usia 9-8 tahun. Anak muda 18 sampai 20 sekian tahun. Kadang-kadang di kampong kami bikin ujian. Ada 5-6 -7 dengan umur seperti yang saya bilang tadi, mereka bikin ukiran dalam 1 jam, dan yang terbaik akan dapat hadiah untuk kasih semangat pada orang-orang yang muda untuk bikin ukiran-ukiran.” Paparnya dalam bahasa Indonesia yang fasih.

Namun keberadaan Kal dengan berbagai upayanya dirasa belum cukup oleh Timo. Ia dan warganya perlu museum budaya papua dan galeri yang lebih besar dengan lokasi yang dekat dengan kampungnya. Kepada pemerintahlah Timo kemudian menggantungkan harapan. Kunjungan dua orang menteri tadi, jadi pintu masuknya. Sebuah map merah kemudian ia sodorkan kepada menko maritime. “Kita tunggu pengajuan dari gubernur saja ya.” Demikian kira-kira komentar pertama sang menteri seraya melirik ke arah menteri pariwisata, yang disusul dengan anggukan. Map merah itu kemudian masuk ke noken yang kemudian dipakai sang menteri. Rombongan pejabat berfoto bersama para pengukir. Seorang pengukir menghaturkan terima kasih atas kunjungan itu. “Dalam hati kami terukir merah putih.” Demikian seorang di antara mereka mengaku. Momen diabadikan, kunjungan dituntaskan. Kini, tinggal kenyataan yang tentu diharapkan menyusul sebagai buah dari sematan harapan. Timo pun kembali memahat sembari menunggu kabar usulan yang ia ajukan. []


Tidak ada komentar:

Posting Komentar