Selasa, 08 September 2015

Ekspedisi Jurnalis ke Carstensz: Berlatih di Ciletuh


Tim liputan Metro TV yang akan mengikuti Ekspedisi Jurnalis ke Carstensz. Foto ini diambil oleh Briyan, peliput dari Media Indonesia yang juga akan bersama kami melaksanakan ekspedisi

Empat hari setelah rapat penentuan keberangkatan ke Papua untuk menjalani Ekspedisi Carstensz, tim liputan Metro TV berlatih untuk menghadapi medan tempur di Carstensz yang pastinya tidak mudah. Maka seraya mengikuti kegiatan peliputan tim 1000 Meter, latihan itu digelar di curug Cimarinjung Sukabumi Jawa Barat. Tempatnya indah banget. Sangat indah. Meskipun dari Jakarta waktu tempuhnya sekitar 10-12 jam.

Curug Cimarinjung ini ada daerah pantai selatan Jawa Barat. Dia ada di kawasan ciletuh, kawasan yang mencakup tiga kecamatan yang sedang diusulkan untuk mendapat predikat geopark atau taman bumi. Gelar taman bumi dirasa penting karena itu adalah legitimasi labih kuat untuk menjaga daerah ini tetap lestari, karena mengandung keunikan bentang alam yang berpengaruh besar.

Selasa itu setelah berangkat pagi dari Jakarta, malamnya kami tiba di sana, setelah janjian di jalan dengan teman-teman anggota Indonesia Climbing Expedition dari Bandung. Mereka inilah yang nantinya jadi narasumber sekaligus instruktur latihan kami. Tiba di bagian bawah bukit tempat air terjun Cimarinjung bergemuruh, kami mendirikan tenda dan berisitirahat di sana. Perlengkapan untuk menghangatkan tubuh di kala malam ternyata tidak terlalu banyak berfungsi, karena daerah itu dekat pantai jadi cukup hangat tanpa kita menggunakan jaket berlapis-lapis.

Rabu pagi tiba, kami pun beranjak ke bagian atas bukit yang membentengi arena perkemahan kami dari cahaya matahari ketika terbit muda. Jalan menuju curug atau air tejun itu kecil. Seorang warga setempat bertutur, ketika lebaran beberapa waktu sebelumnya, jalan yang kami lewati sangat padat dengan manusia, bahkan macet. Belum lagi di kanan kirinya ada sawah dan parit. Saya rasa, curug Cimarinjung ini belum dipersiapkan untuk dikunjungi banyak pelancong. Setapak demi setapak jalan itu kami lewati. Sebuah celah di antara tebing dan batu besar kami lewati. Begitu keluar dari celah itu, tampaklah sudah sumber bunyi gemuruh yang sedari tadi seakan mengajak kami mendekati.

Air terjun Cimarinjung tinggi banget. Lihat saja foto-foto di bawah. Hijau dedaunan di kiri dan kanan curug semakin manambah keanggunannya. Apalagi, kita bisa lihat  laut dari hadapan curug. Ya, curug ini juga menghadap laut selatan yang bahkan garis pantainya terlihat dari atas sana. Ketika itu, curug Cimarinjung juga digunakan oleh para atlet paramotor untuk terbang. Mereka lepas landas dari bagian atas curug yang kalau dari bawah hanya terlihat rimbunan pohonnya saja.

Matahari yang semula ketika kami tiba ada di belakang si curug, lama kelamaan bergeser ke bagian depannya. Hari semakin sore sementara rangkaian latihan kami juga tandas dari sesi ke sesi. Saya sebenarnya ingin menghabiskan sore di pantai yang tampak dari atas sana. Ditemani matahari yang bulat sempurna, berlari menyusuri bibir pantai pasti akan sangat menyenangkan. Tapi waktunya nggak cukup. Begitu waktu maghrib tiba, kami kembali ke perkemahan. []

Berlatih teknik tyrolean, teknik menyeberangi tebing dengan bergantung di tali. Jarak antar tebing di Cimarinjung ini identik dengan jarak di tebing sebelum mencapai puncak Carstensz. Meski terlihat mudah, nyatanya berat juga rasanya menarik tubuh di atas tali itu. Otot perut dan lengan sangat terasa menegang. Latihan plank sepertinya akan sangat membantu agar lancar melewati rintangan satu ini.

Latihan pendakian kami terlaksana atas jasa baik kawan2 indonesia climbing exhibition yang dengan sukarela membagi ilmunya. Setelah punya program 1000 jalur pendakian, tahun ini mereka punya gol 1000 kali lipat: bikin sejuta jalur pendakian dinding di berbagai negara

Seberapa agung si air terjun Cimarinjung? Jawabannya bisa kamu temukan dari perbandingan ukuran manusia berbusana serba merah di kiri foto dengan tinggi bagian kaki curug itu. Dan di perjalanan ke Carstensz nanti, katanya tebing yang kami harus lewati ketinggiannya bisa tiga sampai empat kali curug Cimarinjung

Susunan batu tempat kami berlatih. Sebelumnya tidak ada tali panjat di jalur ini. Tim Indonesia Climbing Expedition memang sengaja memasangnya agar fungsi wisata dan olah raga kawasan curug bisa dimaksimalkan. Kami beruntung jadi yang pertama merasakan jalur pendakian itu

Bulat matahari ketika kami usai berlatih

Bahkan dari sawah di sekitar pintu masuk air terjun pun, laut dan pantai terlihat. Coba tengok bagian kiri foto. Asik kan kalau kita jogging di sana ditemani sunset yang indah itu?

Matahari sekali lagi

Bermain matahari

Pandangan dari tempat kami menyantap makan siang di sisi samping lain curug. Di bagian tempat kami duduk ada sebuah pohon besar yang bisa menaungi kita seraya beristirahat

Para ranger merah sedang membuat jalur pendakian di tepi aliran air. Jalur lain yang berada lebih dekat dekat curug juga dibuat sehingga memberi efek rintangan lain ketika menaikinya. 

Pandangan dari tempat saya rebahan

Di bagian kiri bawah itulah pancang ditanamkan untuk mengikat tali yang nantinya jadi tumpuan keselamatan pendaki tebing di bawahnya. Ada aliran air juga di sana jadi kita bisa berbasahan ria juga ketika menuruni tebing

Kang Edy Pras sedang mengambil gambar kegiatan dengan kameranya. Ketika berlatih menaiki tebing, kameranya terbentur batu sehingga lensanya rusak

Tunggu. Itu tulang paha kan? Yang di dalam genangan air. Kenapa ada di sana? Tulang punya siapa itu? 

Sugandi mengingatkan saya ke parang jati, tokoh di novel bilangan fu yang seorang anak (kemudian diceritakan sampai ia dewasa) yang berjari 6 jago mendaki dengan bantuan jari keenamnya. Dia sangat menjaga agar pegunungan kapur di daerah sekitar rumahnya tetap lestari. Wisata di suatu tempat memang sebaiknya juga mengembangkan potensi lokal. Barangkali dengan tebing batu di desanya ini, suatu hari sugandi bisa jadi pendaki tebing profesional

Seorang anak mengikuti aktivitas kami di curug Cimarinjung. 

Pemandangan di hadapan curug cimarinjung. Tebing batu curam dan laut terlihat di kejauhan. Di tebing itulah saya latihan manjat dan belajar berbagai teknik pendakian tebing. Saya (dan kawan2 indonesia climbing exhibition) jadi yang pertama loh nyobain tebing di sana. Soalnya baru kali itu dipasangi pasak buat para pendaki tebing melampiaskan hobi mereka di curug cimarinjung yang aduhai indah nian ini

Curug Cimarinjung menyambut

Jalan menuju curug cimarinjung: sawah, mobil liputan, laut, langit

Sunrise sebenarnya terhalang sama bukit di belakang sana, jadi kami yang camping di situ baru merasakan matahari sekitar jam 7

Ini tempat kami menginap
Kang Edy Pras juga membawa drone atau pesawat tanpa awak yang dilengkapi kamera, sehingga gambar-gambar indah dari perspektif burung bisa kita nikmati
Saat itu kami latihan seharian. Dari jam 8 pagi sampe jam 5 sore. Dari teknik naik tebing (ascending), turun tebing (descending), nyeberang (tyrollean), sama evakuasi dan ilmu persimpulan.
Tidur siang diiringi deburan suara air terjun dan semilir angin bercampur titik-titik air
Simak juga dua video di bawah ini. Yang pertama buatan Kang Edy Pras dan Bang Wildan, sementara yang kedua saya yang ambil gambar dan edit. Kira-kira begitukah suasana pengambilan gambar dan peliputan kami di Carstensz nanti? Atau malah lebih berat? Simak terus kelanjutan seri tulisan Ekspedisi Jurnalis ke Carstensz berikutnya. Hehe.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar